18 April, 2010

Seputar Korelasi dan Kausalitas antara Sistem Ekonomi dan Kinerja Perekonomian


Oleh:
Rachmad Satriotomo (2009)
Mahasiswa FEUI



Kita seringkali secara tidak sadar menggabungkan dalam pikiran kita antara korelasi dan kausalitas. Kita biasanya melakukan kesalahan berpikir dengan mengasumsikan bahwa dua atau lebih kejadian yang memiliki hubungan antar kejadian yang kuat -kejadian yang satu seringkali diikuti oleh kejadian yang lain- atau dengan kata lain berkorelasi pastilah memiliki hubungan sebab-akibat (kausalitas). Pikiran kita secara alamiah akan menggunakan logika umum dan sederhana bahwa jika suatu kejadian selalu diikuti dengan kejadian lainnya mestilah kejadian yang pertama itu yang mengakibatkan terjadinya kejadian yang kedua, dengan kata lain ada kausalitas antara dua kejadian itu.

Memang itu logika yang secara umum tidak salah, tapi tidak juga selalu benar. Akan ada kasus-kasus tertentu, dalam hal ini kasus dalam perekonomian, yang melanggar logika itu. Ada peristiwa-peristiwa dalam perekonomian yang berkolerasi tinggi tapi ternyata sama sekali bukan merupakan bentuk kausalitas. Begitu juga dalam masalah hubungan antara kinerja perekonomian dengan sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Apakah hal itu hanya merupakan sebuah korelasi ataukah merupakan sebuah kausalitas?

Latar Belakang


Latar belakang ditulisnya esai ini adalah karena dalam beberapa kasus terjadi bias dalam penyebutan dan dalam artian antara korelasi dan kausalitas. Dan celakanya, hal yang menurut penulis salah itu akhirnya malah dijadikan asumsi umum yang diterima secara luas. Dalam kasus hubungan antara sistem ekonomi dengan kinerja perekonomian yang dihasilkan, para aktivis di negara berkembang seringkali secara terburu-buru langsung menyebut kapitalisme dibalik kegagalan ekonomi yang menimpa negaranya.

Dikatakan bahwa sistem tersebut menyebabkan negara tidak berpihak kepada orang miskin dan hal itu merugikan kepentingan orang banyak. Pernyataan itu memang ada benarnya, namun seringkali untuk hal-hal yang tidak relevan pun kapitalisme menjadi kambing hitam atas kegagalan ketimbang berkaca pada kekurangan diri sendiri. Hal ini makin menjadi-jadi ketika isu ini dijadikan komoditas politik untuk menjatuhkan pihak tertentu.

Mengingat urgensinya maka penulis berkesimpulan bahwa menjernihkan beberapa persoalan yang terkait dengan persoalan korelasi dan kausalitas ini perlu dilakukan, karena hal ini terkait dengan pondasi bagi pemikiran ekonomi yang lebih jauh. Dikhawatirkan jika asumsi yang dipakai sudah salah, interpretasi lebih jauhnya pun akan semakin tidak tepat dan menjadi tidak solutif.

Pembahasan

 
 “Adalah naïf untuk mengatakan sebuah eksperimen kebijakan A akan menghasilkan kondisi B hanya berdasarkan pada korelasi antara A dan B di masa lalu…” - Robert Lucas Jr., Nobel Laureate 1995 -

Artinya adalah bahwa korelasi itu belum tentu bersifat kausalitas. Korelasi dapat diketahui dengan melihat adanya hubungan antar variabel, tapi kausalitas lebih rumit dari sekedar melihat hubungan antar variabel. Kausalitas harus memperhatikan apa menyebabkan apa, dan apakah terdapat reversed bias antar variabel, dan ini akan menjadi lebih rumit ketika variabel yang dipakai lebih dari dua buah atau simultan.

Hal-hal seperti ini akan banyak kita temui dalam kasus di perekonomian, seperti misalnya adanya korelasi antara kesejahteraan suatu negara dengan sistem ekonomi yang dianut, kualitas institusinya, sumber daya alam dalam negara tersebut. Memang jika kita perhatikan data dan mengujinya akan tampak bahwa terdapat korelasi antara kesejahteraan suatu negara, dalam hal ini GDP, dengan hal-hal yang telah disebutkan tadi. Tapi itu tidak serta-merta membuktikan bahwa hal-hal tadilah yang membentuk GDP tersebut. Data hanya akan menunjukkan bahwa memang terdapat korelasi, tapi bukan berarti kausalitas.

Sejarah Singkat Sistem Ekonomi

Berkaitan dengan sistem ekonomi, hal yang sama juga terjadi pada hubungan antara sistem ekonomi yang dipakai suatu negara dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Jika kita lihat korelasi antara sistem market economies dengan tingginya tingkat kesejahteraan negara penganutnya, maka kita bisa melihat korelasi yang kuat antara keduanya, terutama di negara-negara barat.

Tapi permasalahannya tentunya tidak sesederhana itu, disini juga terdapat reversed bias, tidak jelas juga apakah sistem ekonomi yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu negara ataukah sebaliknya? Atau apakah ada suatu prasyarat tertentu bagi penerapan suatu sistem ekonomi yang menyebabkan kadang berbeda negara memang harus berbeda dalam pendekatan sistem ekonominya? Dan jika hal itu benar berarti akan menjelaskan mengapa misalnya kapitalisme sukes di negara-negara barat tapi gagal di belahan dunia lainnya.

Pergantian sistem ekonomi antara dominasi pasar dan dominasi negara berlangsung secara cepat dalam 2 abad terakhir ini. Proses industrialisasi di barat pada abad ke 19 jelas merupakan dominasi pasar sementara pemerintah memegang peranan sedikit saja. Namun selepas perang dunia pertama dominasi negara mengambil alih. Tidak hanya di negara-negara “merah” seperti Uni Sovyet dan negara-negara Eropa Timur, tapi juga di negara-negara Eropa Barat.

Ditambah lagi krisis besar “Great Depression” membuat seluruh perekonomian barat takluk dan takkan mampu bangkit tanpa intervensi negara. Perang dunia kedua memperparah hal ini. Eropa Barat terpuruk menunggu bantuan program Marshall Plan dari Amerika. Istilah market failure, yang menunjukkan kegagalan pasar dalam menyediakan barang dan jasa dalam jumlah yang dibutuhkan, eksis pada saat itu.

Pada akhir tahun 1970-an situasi berbalik lagi, dominasi negara kembali kehilangan pengaruh setelah dikalahkan oleh pemikiran Milton Friedman yang diadopsi oleh Ronald Reagan di Amerika dan Margaret Tatcher di Inggris. Government failure, istilah yang menyatakan berlebihannya peran negara sehingga menyebabkan ketidakefisienan dalam perekonomian menjadi popular saat itu. Runtuhnya Uni Sovyet semakin memperjelas bagaimana wajah akhir dari sejarah kita (the end of history), yaitu kapitalisme keluar sebagai pemenang. Hal ini menurut Francis Fukuyama, futurolog, tidak akan berubah dan sudah final.

Namun kejatuhan sistem central planned economies tidak mengurangi kritik atas kekurangan sistem pasar dimana banyak terdapat ketimpangan dan kemiskinan. Ditambah lagi rentetan krisis yang menimpa dunia yang relatif sudah unipolar membuat banyak kalangan kembali berpikir tentang sistem ekonomi yang saat ini paling banyak diadopsi di dunia, yaitu kapitalisme yang pastinya berorientasi pasar dan sedikit saja menginginkan peran negara. Kasus terakhir adalah krisis subprime mortgage di Amerika yang menyebar ke seluruh dunia dan krisis energi yang menyertainya.

4 Model Sistem Ekonomi

Setidaknya ada 4 model organisasi ekonomi di dunia yaitu, market economic model seperti di Hong Kong dan Amerika, social market economic model seperti negara-negara Eropa, the state capitalist model seperti China dan Rusia dan central planned model seperti diterapkan di Korea Utara dan sedikit negara lain. Masing-masing model tadi berbeda dalam memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dalam perekonomian. Dan masing-masing memiliki keunggulan, kelemahan serta tantangannya masing-masing.

Market economies memiliki keunggulan berupa fleksibilitas, kompetitif dan memacu pertumbuhan. Namun memiliki kelemahan berupa tingginya ketimpangan, tingginya kemiskinan, terabaikannya kualitas lingkungan dan risiko krisis keuangan yang persisten. Sistem market economies menghadapi tantangan untuk bagaimana meningkatkan peran negara terutama dalam bidang sosial dan perlindungan kualitas lingkungan.

Social market economies menggunakan mekanisme pasar untuk menentukan alokasi sumberdaya dalam produksi dan konsumsi, namun memasukkan negara dalam penyediaan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dan perlindungan kualitas lingkungan. Sistem ini menjamin masyarakat yang lebih merata dan lebih mampu menghadapi krisis. Namun sistem ini memiliki konsekuensi biaya fiskal yang tinggi untuk berbagai subsidi dan tingkat pajak yang juga tinggi untuk membiayai pengeluaran fiskalnya. Sistem social market economies menghadapi tantangan untuk mengurangi transfer kepada kelompok yang tidak produktif dan memperbaiki sistem insentif-disinsentif terhadap pekerja.

Sistem state capitalism mengkombinasikan peran pasif pemerintah dalam lingkup sosial dan perlindungan kualitas lingkungan dengan intervensi yang kuat terhadap sektor produksi terutama yang menyangkut sumberdaya alam terutama energi, industri skala besar dan padat teknologi. State capitalism telah membuktikan bahwa sistem ini mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang konsisten seperti yang diperlihatkan China. Hal ini karena sistem ini memiliki tujuan nasional yang jelas dan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar.

Namun karena minimnya peran negara maka penyediaan sektor sosial dan perlindungan atas kualitas lingkungan menjadi minim. Risiko yang juga muncul adalah moral hazard dari birokrasi. Penyediaan banyak sektor produksi oleh negara jelas menimbulkan conflict of interest antara penyediaan barang kebutuhan publik atau pribadinya sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh China yang mengadopsi sistem ini adalah bagaimana menciptakan birokrasi yang lebih akuntabel.

State central planned menggunakan negara sebagai pemain dominan dalam penyediaan sektor produksi dan sektor sosial. Sistem ini menciptakan masyarakat yang egaliter namun minim pertumbuhan dan cenderung tidak sustainable serta rawan.

Melihat beberapa variasi sistem diatas, rasanya sudah saatnya bagi kita untuk tidak terlalu terpaku pada sebuah sistem tunggal yang ideal dalam pembangunan ekonomi. Sistem yang digunakan bisa sistem apa saja, yang terpenting adalah hasilnya. Ada negara yang berhasil dengan peran negara lebih besar, namun ada juga negara yang berhasil dengan peran pasar lebih besar. Hal ini bisa terjadi karena karakteristik masing-masing negara juga berbeda. China tidak menerapkan sistem market economies karena China tidak memiliki prasyarat untuk itu. Dengan social capital yang dimilikinya China merasa lebih cocok dengan sistem social capitalism. Jadi aneh jika kita terlalu terpaku pada jenis sistem ekonomi tertentu dengan mengabaikan social capital di negara kita sendiri.

Prinsip-Prinsip Hubungan Negara-Swasta

Namun ada beberapa prinsip umum yang harus dipegang, apapun sistem ekonominya. Pertama, bergerak terlalu ekstrem, baik kearah dominasi negara maupun kearah dominasi pasar merupakan suatu kesalahan. Kedua, fungsi dasar dari negara seperti keamanan, sistem keadilan sosial, penegakan hukum, pembangunan infrastruktur dan stabilitas moneter merupakan hal yang esensial. Hal-hal tersebut membutuhkan relatif sedikit birokrasi, namun yang mampu bekerja secara efektif dan berintegritas.

Ketiga, dalam menghadapi kegagalan pasar, pemerintah harus fokus pada persoalan utamanya, seperti ketimpangan sosial dan persoalan kemiskinan, dan cenderung jangan mengurusi hal-hal kecil yang hanya akan memperbesar intervensi negara kepada pasar. Diharapkan dengan begini distorsi kepada pasar dapat diminimalisir. Keempat, kerjasama publik-privat seringkali dapat menyelesaikan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi jika dikelola dengan hati-hati dan terbuka. Kelima, perlu ada akuntabilitas bagi seluruh lapisan birokrasi maupun swasta. Akuntabilitas ini penting demi menjamin perekonomian yang sehat dan efisien.

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa diambil dari uraian diatas adalah bahwa kita jangan hanya terpaku pada fakta bahwa terdapat korelasi antara sebuah sistem ekonomi dengan kinerja perekonomian negara tersebut lalu serta-merta mengikutinya. Bisa jadi sebuah sisitem ekonomi memang berkorelasi dengan kinerja perekonomian namun sebenarnya tidak terlalu berpengaruh (bukan kausalitas). Hal ini bisa dilihat dari Amerika yang sukses dengan sistem market economies-nya, Eropa dengan sistem social market economies-nya dan China dengan sistem social capitalism-nya. Karena itu yang terbaik adalah menemukan sendiri karakteristik perekonomian kita dengan tidak mengabaikan hasil yang telah diterapkan di negara lain.  



Daftar Referensi

Levitt, Steven D.
Freakonomics: a rogue economist explores the hidden side of everything/ Steven D. Levitt and Stephen J. Dubner. First Edition. ( New York: Harper Collins Publishers Inc, 2005 ).
Linn. F. Johannes.
State versus Market: Forever a Struggle? (Washington, DC: The Brookings Institution, 2009)
Todaro, Michael P.
Economic Development. Fifth Edition. ( New York: Longman Publishing, 1994 )
Mankiw, Gregory N.
Principle of Economics. Third Edition. ( New York: Thomson, 2005 )


No comments:

Post a Comment