20 June, 2011

Pengiriman TKI Sunnatullah, Tak Mungkin Dihentikan!



Kontroversi seputar buruh migran (migrant workers) atau biasa disebut TKI (Tenaga Kerja Indonesia) seolah tidak pernah berhenti. Kasus penyiksaan dan kematian TKI di negeri orang selalu mendapat tanggapan luas di dalam negeri. Mulai dari politisi hingga obrolan warung kopi. Artinya masyarakat kita concern terhadap hal tersebut, mungkin karena apa yang disebut nasionalisme.
Yang disayangkan seringkali opini yang berkembang lebih kearah emosional ketimbang rasional dalam merespon persoalan TKI ini. Bahkan pemberitaan media massa pun tanpa disadari bisa menyesatkan. Misalnya pemberitaan tentang jumlah TKI yang meninggal di luar negeri. Di judul berita ini ditulis “4 Tahun Terakhir, Hampir 5 Ribu TKI Tewas di Luar Negeri”. Ini judul yang sangat povokatif, apalagi jika di badan berita juga hanya menampilkan fakta kematian hampir 5 ribu TKI tersebut. Seharusnya juga ditampilkan berapa tingkat kematian alamiah (natural mortality rate) penduduk Indonesia di kisaran usia yang sama. Dengan jumlah TKI yang mencapai jutaan, jangan-jangan angka kematian itu wajar. Atau jangan-jangan persentase kematian penduduk di Indonesia malah lebih tinggi daripada TKI yang bekerja di luar negeri. Media massa juga harus apple to apple dalam menghadirkan fakta.
Hal yang sama menimpa modal asing. Persepsi publik tentang modal asing juga tidak kalah buruknya. Lagi-lagi karena apa yang kita sebut nasionalisme. Seolah tidak nasionalis jika kita membiarkan pihak asing menanamkan modalnya di Indonesia. Walaupun di depan mata kita ada berjuta-juta pengangguran, yang penting tolak modal asing.

Buruh Migran dan Modal Asing Itu Sunnatullah
Sunnatullah artinya hukum alam. Kenapa buruh migran dan modal asing disebut hukum alam? Negara berkembang (developing countries) memiliki tipikal perekonomian yang berbeda dengan negara maju (developed countries). Dengan simplifikasi bahwa hanya ada dua faktor produksi dalam perekonomian, yaitu modal (capital) dan tenaga kerja (labor), maka bisa kita katakan bahwa negara-negara maju memiliki ciri keberlimpahan modal atau capital abundant, sedangkan negara-negara berkembang memiliki ciri keberlimpahan tenaga kerja atau labor abundant.
Keberlimpahan atau abundant disini dalam artian relatif terhadap faktor produksi yang lain. Jadi jika disebut negara maju memiliki keberlimpahan modal itu artinya relatif terhadap tenaga kerja yang dimilikinya. Sementara jika negara berkembang disebut memiliki keberlimpahan tenaga kerja itu artinya relatif terhadap modal yang dimilikinya. Jadi walaupun penduduk Amerika Serikat banyak, kita tidak menyebut Amerika Serikat memiliki keberlimpahan tenaga kerja, tapi keberlimpahan modal. Kenapa? Karena modal yang dimilikinya juga besar. Sementara walaupun jumlah penduduknya sedikit kita tetap menyebut Timor Leste memiliki keberlimpahan tenaga kerja, bukan keberlimpahan modal. Kenapa? Karena modal yang dimilikinya juga kecil. Jadi keberlimpahan adalah konsep relatif. Untuk memudahkan bisa kita gunakan rasio modal (K) berbanding tenaga kerja (L), K/L.
Tipikal perekonomian suatu negara (capital atau labor abundant) akan mempengaruhi distribusi pendapatan di negara tersebut. Negara yang bersifat capital abundant memiliki rasio modal berbanding tenaga kerja (K/L) yang besar, sehingga return atas modal di negara tersebut akan relatif lebih kecil dibanding return yang diterima oleh tenaga kerja. Dengan kata lain, di negara yang memiliki modal melimpah harga modal akan turun, sedangkan harga tenaga kerja akan naik. Sebaliknya, di negara yang bersifat labor abundant, harga modal relatif lebih mahal dibanding harga tenaga kerja.
Harga modal adalah bunga/bagi hasil atas uang. Harga tenaga kerja adalah upah tenaga kerja. Jadi, di negara maju upah tenaga kerja relatif tinggi dan bunga/bagi hasil relatif rendah. Sementara di negara berkembang upah tenaga kerja relatif rendah dan bunga/bagi hasil relatif tinggi.
Apa konsekuensi logis dari kondisi diatas? Tenaga kerja akan mengalir dari negara berkembang ke negara maju, sementara modal akan mengalir dari negara maju ke negara berkembang. Tenaga kerja akan pindah ke negara maju mencari upah yang lebih tinggi, sementara modal akan pindah ke negara berkembang mencari bunga/bagi hasil yang lebih tinggi. Upah dan bunga/bagi hasil yang lebih tinggi itu yang kita sebut insentif. People moves to incentives. Dalam fisika ada gaya gravitasi yang menarik semua benda ke bawah, dalam ekonomi ada insentif yang menarik semua orang. Dan itu hukum alam, sunnatullah. Apa bisa kita melawan hukum alam?
Apa bisa kita menolak adanya hukum gravitasi? Tidak mungkin. Hal paling pintar yang dapat manusia lakukan terhadap hukum alam adalah memanfaatkannya untuk kepentingan manusia. Begitu juga dengan fenomena buruh migran dan modal asing, hal paling pintar yang dapat kita lakukan adalah menyiapkan tenaga kerja berkualitas sehingga upah yang diterima semakin tinggi dan berusaha mengarahkan modal asing yang masuk ke sektor yang paling menguntungkan perekonomian kita. Jadi titik tekannya bukan pada menghentikan pengiriman TKI, melainkan menuntut keseriusan pemerintah dalam melindungi keselamatan TKI di luar negeri.
Hukum alam tidak dapat ditolak, tapi bisa dimanfaatkan. Jadi, apa bisa kita menolak cinta? (halah)

*Opini diatas adalah pendapat pribadi, tidak ada kaitannya dengan Liverpool FC

No comments:

Post a Comment