29 October, 2012

Islam Konservatif



“….Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS 45:13)

Cara berpikir konservatif dalam sebagian masyarakat muslim merupakan tantangan besar bagi kemajuan Islam. Selama cara berpikir demikian masih bertahan, Islam tidak mungkin menjadi sumber kemajuan bagi pemeluknya, sebaliknya justru menjadi penghambat. Ada dua hal yang menjadi ciri utama muslim konservatif. Pertama, menganggap konstruksi ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat di zaman Nabi Muhammad sebagai bentuk ideal dan puncak peradaban yang harus dihidupkan kembali. Kedua, menerjemahkan Al Qur’an dan Hadits secara tekstual dengan mengabaikan konteks peristiwa. Cara berpikir konservatif ini sangat merugikan umat Islam dan menghambat kemajuannya, sayangnya dewasa ini hal tersebut justru menguat di Indonesia.

Arab Abad ke 7 Masehi Bukanlah Puncak Peradaban
Kesalahan berpikir terbesar muslim konservatif adalah menganggap bahwa masyarakat Arab pada abad ke 7 Masehi sebagai masyarakat ideal, sehingga seluruh konstruksi ekonomi, sosial, politik dan budayanya harus dihidupkan kembali secara apa adanya, hal ini dilakukan demi apa yang mereka yakini sebagai berislam secara menyeluruh (kaffah). Maka dari itu mereka menerjemahkan Al Qur’an dan Hadits secara tekstual, juga mengartikan sunnah Nabi Muhammad sebagaimana adanya tanpa memperhatikan konteks peristiwa. Mereka selalu bertanya “dulu rasul gimana?” tanpa pernah bertanya “kalau rasul hidup di jaman sekarang beliau akan gimana?”.
Dalam setiap bidang kehidupan muslim konservatif ingin kembali ke sistem yang digunakan oleh bangsa Arab pada abad ke 7 Masehi. Dalam bidang ekonomi mereka ingin menggunakan mata uang dinar dan dirham hanya semata-mata karena uang tersebut yang digunakan oleh Nabi Muhammad. Dalam bidang politik mereka ingin menggunakan sistem khilafah hanya semata-mata karena nabi dan sahabatnya menggunakan sistem tersebut. Walau sebetulnya tidak jelas juga sistem khilafah seperti apa yang mereka maksud, karena aklamasi yang dilakukan para sahabat nabi dalam memilih pemimpin pasca nabi sebetulnya merupakan bentuk demokrasi juga. Intinya, dalam setiap aspek kehidupan mereka ingin kembali pada masa 1400 tahun silam di jazirah Arab.
Tepatkah cara berpikir demikian? Tentu tidak, hal itu justru melanggar prinsip Islam yang sangat mendasar. Dalam Islam, ibadah diatur secara ketat, seluruh ibadah adalah haram kecuali yang diperintahkan. Sebaliknya, dalam urusan muamalah sangat liberal, seluruh muamalah adalah boleh kecuali yang dilarang. Artinya dalam ibadah memang harus mencontoh nabi, tapi dalam muamalah tidak. Kalangan konservatif tidak memakai prinsip ini, baginya dalam semua hal harus mencontoh nabi, jika tidak ada contohnya maka tidak boleh dilakukan. Hal ini jelas tidak praktikal, mereka yang konsisten dengan cara pikir konservatif ini akhirnya menolak banyak aspek dari kehidupan modern seperti sistem ekonomi, politik dan pemerintahan, bahkan kedokteran modern. Gerakan anti demokrasi dan gerakan anti vaksinasi yang sekarang merebak di Indonesia adalah contohnya.
Islam telah menjadi sumber kemajuan bagi pemeluknya pada masa lalu karena nilai-nilainya yang progresif dan melampaui zamannya. Saat peradaban-peradaban besar dunia bergantung pada budak untuk membangun kota-kotanya, Islam justru menganjurkan membebaskan budak. Dalam beberapa hal, kafarat (penebusan) atas sebuah pelanggaran syariat adalah dengan membebaskan seorang budak. Jadi, Islam pada abad ke 7 Masehi sudah memiliki visi anti perbudakan dimana pada saat yang sama perbudakan masih merupakan hal yang dianggap sangat lumrah. Namun kalangan konservatif akan berbeda melihatnya, mereka melihat bahwa ada dalil-dalil agama yang mengatur tentang perbudakan sehingga menganggap hukum perbudakan dalam Islam adalah boleh. Ini adalah contoh cara berpikir yang mengabaikan konteks, ia gagal menangkap esensi dari ajaran Islam.

Pentingnya Tafsir Agama Secara Kontekstual
Islam yang datang sebagai pembebas dari penyembahan sesama manusia justru telah menjadi berhala baru bagi kalangan konservatif. Agama menjadi begitu sakral hingga mengorbankan apapun bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kasus yang ekstrem, jika seorang konservatif dihadapkan pada pilihan untuk membunuh atas nama agama pasti akan dilakukannya, walaupun itu bukan perintah agama, melainkan kedangkalannya sendiri dalam menafsirkan agama.
Islam terdiri dari aqidah, akhlaq dan syariat. Untuk aqidah dan akhlaq dalil agama berlaku sepanjang zaman, tapi untuk syariat tidak. Hukum syariat selalu bergeser sesuai situasi dan kondisi (kontekstual). Misal, hukum asal puasa Ramadhan adalah wajib, tapi bisa jadi makruh atau malah haram bila kita sedang sakit lalu memaksakan diri dan membahayakan jiwa. Nah, jadi bisa dibayangkan, jika untuk ibadah utama yang masuk rukun Islam seperti puasa Ramadhan saja hukum syariatnya bisa berubah apalagi untuk ibadah lain yang tidak setinggi itu posisinya. Terlebih lagi untuk urusan non ibadah atau muamalah yang pada dasarnya liberal (semua boleh kecuali ada larangan).
Umar bin Khatab sebagai khalifah pernah tidak membagikan harta rampasan perang sesuai ketentuan Al Qur'an. Harta yang seharusnya dibagikan malah dimasukkan ke kas negara. Kenapa? Karena menurut Umar situasi dan kondisinya sudah berbeda dengan zaman nabi. Di zaman Umar prajurit mendapat gaji, jadi tidak diberikan bagian rampasan perang lagi. Pernah juga Umar ingin mengatur batasan soal mahar, tapi diprotes oleh seorang wanita sehingga dibatalkan. Tapi semangatnya jelas, Umar tidak terikat pada dalil secara tekstual, ia melihat konteks.
Al Qur'an dan Hadits tidak berada di ruang hampa, mereka seringkali turun untuk mengomentari peristiwa yang sedang terjadi. Artinya dalam membaca dalil tidak bisa dilepaskan dari sejarah turunnya dalil tersebut. Jadi sangat penting untuk memahami kondisi ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat Arab waktu itu. Dalam membaca dalil tidak boleh mengabaikan konteks saat turunnya dalil tersebut, dan konteks saat dalil tersebut akan digunakan di masa kini. Karena bisa jadi illat-nya (alasan sebuah hukum) hilang dengan berubahnya situasi dan kondisi. Apa yang benar di masa lalu belum tentu benar di masa sekarang, karena ada kondisi yang mungkin sudah berbeda. Jangankan beda masa, dalam satu masa tapi beda wilayah pun bisa jadi beda hukumnya. Atau bahkan beda orang bisa jadi beda hukumnya. Karena kondisi setiap orang tidak sama. Allah yang lebih tahu. Wallahua’lam.

2 comments:

  1. yang terpenting tuh memang critical thinking..khususnya dalam muamalah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul de, yang penting niatnya benar, bukan mencari-cari celah dalam agama.

      Delete