25 April, 2010

Menyiasati Ketidakunggulan Indonesia di Perdagangan Bebas ASEAN-China


Oleh:
Rachmad Satriotomo (2010)
Asisten Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), Jakarta



Indonesia diramalkan akan segera masuk ke dalam portofolio investor-investor global menyusul baiknya kinerja perekonomian Indonesia dan kesuksesan Indonesia melalui krisis keuangan tahun 2008. Selama beberapa tahun belakangan investor global gencar berinvestasi di China dan India yang menjadi lokomotif pertumbuhan dunia, namun saat ini tingkat investasi di China dan India dinilai sudah jenuh dan kedua negara itu sudah kelebihan beban. Sementara itu Indonesia mulai tampil sebagai negara yang tetap mampu bertumbuh di tengah krisis, dan dengan jumlah penduduk yang melimpah tentu menjadi pasar yang memiliki daya tarik tersendiri bagi investor untuk berusaha di Indonesia.  Tahun 2010 ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan berada di kisaran 5,5 persen, atau tertinggi ketiga di dunia setelah India (8 persen) dan China (7,7 persen). Meminjam istilah George Soros, Indonesia saat ini sudah masuk ke dalam radar investor-investor global.

Namun iklim makro yang kondusif itu akan sia-sia apabila masalah daya saing tidak juga dibenahi. Masalah daya saing sangat penting dalam keputusan berinvestasi karena akan menyangkut harga output hasil produksi yang menentukan tingkat penjualan dan keuntungan bagi investor. Salah satu hal yang mempengaruhi tingkat daya saing adalah biaya distribusi. Biaya distribusi ini terkait erat dengan kualitas infrastruktur dan birokrasi sebuah negara. Menurut Arianto Patunru, peneliti LPEM FEUI, biaya distribusi di Indonesia tergolong tinggi untuk kawasan Asia yaitu menghabiskan US$ 0,33 per kilometer. Sementara itu rata-rata biaya perjalanan di Asia hanya sekitar US$ 0,22 per kilometer. Menurut Mudrajad Kuncoro, ekonom UGM, biaya pungli di pelabuhan mencapai 7,5% dari biaya ekspor.

Dengan biaya setinggi itu maka tidak heran Indonesia dikatakan sebagai negara dengan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hal ini tentu akan kontraproduktif dengan capaian makroekonomi kita yang positif, dengan hasil ini investor tentu akan menghitung ulang rencana investasinya di Indonesia. Bahkan, investor yang telah masuk pun tidak tertutup kemungkinan merelokasi usahanya ke negara lain yang lebih kompetitif. Menurut catatan media, pesanan baru yang diterima industri alas kaki lokal sepanjang 2 bulan pertama 2010 terpangkas 50% dibandingkan dengan periode yang sama 2009 menyusul pengalihan order para prinsipal alas kaki lokal ke China. Menurut Aprisindo, pengalihan order besar-besaran itu dilakukan karena prinsipal alas kaki lokal khawatir dengan maraknya impor alas kaki secara masal dari China dengan harga sangat murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan perusahaan lokal. Hal ini terkait dengan daya saing Indonesia yang rendah yang disumbang antara lain oleh tenaga kerja, infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik) dan birokrasi.

Membenahi permasalahan fundamental di atas tentu sulit dan membutuhkan waktu yang lama, sementara perdagangan bebas sudah kita masuki. Hal yang berubah dengan adanya perdagangan bebas adalah hilangnya hambatan tarif (tariff barrier) dalam perdagangan internasional. Sementara menurut Menperin, MS Hidayat, Peluang Pemerintah China mengabulkan mengabulkan upaya renegosiasi 228 pos tarif yang ditempuh Pemerintah Indonesia terkait ACFTA semakin tipis. Berarti tarif harus nol persen, yang berarti tanpa hambatan.Goncangan akibat hal itu pasti akan terasa dalam tahun-tahun pertama terutama dari sisi industri dan tenaga kerja. Perlu ada bantalan agar kita mengalami soft landing dan tidak kaget dengan perubahan situasi ini.

Kita perlu menciptakan hambatan non tarif (non tariff barrier) yang proporsional dan terencana dengan jangka waktu tertentu untuk mengurangi dampak buruk dari ACFTA. Salah satu hambatan non tarif yang bisa dipakai adalah penerapan standardisasi SNI bagi seluruh produk asing yang masuk ke Indonesia. Di negara maju, hambatan ini bahkan sudah lebih advance lagi tingkatannya, seperti penerapan eco label di negara-negara Uni Eropa yang akan menolak seluruh produk yang dibuat dengan merusak keseimbangan alam (illegal logging, illegal fishing, dll).

Dalam catatan media yang lain disebutkan API mendesak pemerintah mengatur pintu masuk impor produk pakaian jadi asal China agar masuk melalui sejumlah daerah di wilayah kawasan timur Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk hambatan non tarif yang diharapkan akan meredam masuknya produk dari China. Selain itu, masuknya produk China yang murah ke kawasan timur Indonesia diharapkan akan ikut membantu menurunkan tingkat inflasi di wilayah itu. Hal ini juga dapat menjadi salah satu hambatan non tarif sekaligus upaya mengambil kesempatan di tengah kesempitan dan mengubah ancaman ACFTA menjadi peluang menekan inflasi tanpa harus mengorbankan industri dan tenaga kerja. Dengan catatan, penerapan hambatan-hambatan non tarif ini harus dilakukan dengan tetap melakukan perbaikan daya saing secara fundamental dan mempersiapkan diri dalam menghadapi perdagangan bebas global yang tentunya akan menghadirkan tantangan lebih berat.

No comments:

Post a Comment