19 April, 2010

Mengatasi Pengangguran di Indonesia dengan Kebijakan Perberasan yang Tepat


Oleh:
Rachmad Satriotomo (2007)
Mahasiswa FEUI




Permasalahan pengangguran di Indonesia sangat kompleks dan bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dalam esai ini penulis mencoba untuk menyampaikan sebuah pandangan tentang pengangguran dari sudut pandang tata kelola salah satu produk pertanian di negeri ini, yaitu beras. Selama ini kebijakan pemerintah mendistorsi pasar berupa pangan murah sedikit banyak telah memengaruhi struktur ekonomi Indonesia, begitu juga dengan struktur tenaga kerjanya.

Kebijakan pangan murah yang mengubah insentif antar sektor (industri dan pertanian) telah mengakibatkan berubahnya preferensi dan perilaku tenaga kerja di Indonesia. Juga perilaku migrasi mereka karena dikotomi pertanian-industri sangat dekat dengan dikotomi desa-kota. Dengan analisis teoretis dan kualitatif penulis mencoba untuk menyampaikan bagaimana kebijakan pangan murah dapat berakibat baik ataupun buruk bagi perekonomian Indonesia ditinjau dari sisi ketenagakerjaan.

Latar Belakang

Pengangguran merupakan persoalan serius yang selalu menyertai pembangunan setiap negara berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Biasanya persoalan pengangguran ini selalu dikaitkan dengan sedikitnya investasi yang ditanamkan di negara tersebut sehingga lapangan kerja baru yang terbuka pun sedikit. Mengingat hal tersebut, maka tidak mengherankan jika negara-negara berkembang di seluruh dunia berusaha mati-matian mempercantik diri agar dapat menarik investasi asing. Mereka beramai-ramai menerapkan kebijakan yang ramah pasar demi menciptakan iklim usaha yang diinginkan para investor.

Namun, usaha menarik investasi asing itu dinilai seringkali agak berlebihan, salah sasaran dan cenderung melupakan potensi negeri sendiri. Di Indonesia misalnya, pemerintah seolah berupaya keras menarik investasi asing, bahkan sampai melakukan kunjungan ke luar negeri demi bertemu dengan para pelaku usaha disana, padahal bukan itu esensi dalam menarik investasi. Namun kebijakan yang mendukung investasi domestik malah seringkali diabaikan. Governance Assessment Survey 2006 yang dilakukan Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa pemerintah tidak cukup mendukung bahkan cenderung menghambat investasi domestik.

Permasalahan

Mengorbankan Petani Demi Investasi

Di Indonesia, perilaku berlebihan dalam menarik investasi asing itu telah terjadi sejak zaman pemerintah Orde Baru yang berusaha menarik investasi asing dengan menerapkan kebijakan pangan murah. Harga pangan yang murah selanjutnya berimbas pada biaya hidup yang menjadi murah, biaya hidup yang murah pada akhirnya menghasilkan upah buruh yang murah pula. Upah buruh yang murah inilah yang akhirnya “dijual” oleh pemerintah Orde Baru kepada para investor asing sebagai keunggulan komparatif Indonesia atas negara lain.

Menurut Faisal Basri (2005), ekonom, selama ini sektor pertanian di Indonesia telah dijadikan tumbal industrialisasi. Melalui Bulog pemerintah Orde Baru secara efektif mampu mengendalikan harga beras tetap rendah dengan kebijakan harga dasar untuk gabah dan beras sehingga menjamin upah buruh tetap murah selama beberapa periode. Padahal kebijakan pangan murah jelas akan memaksa petani untuk mendapatkan keuntungan yang minimal dari hasil panennya. Jadi, keunggulan komparatif berupa upah buruh murah yang selama ini dibanggakan itu ternyata didapatkan dengan mengorbankan para petani. 

Upah buruh yang murah dan pendapatan petani yang rendah ini sekarang masih kita temui. Berdasarkan data Depnakertrans tahun 2007, rata-rata upah sebulan untuk tenaga kerja laki-laki hanya sebesar Rp. 1.141.308 sedangkan untuk tenaga kerja perempuan hanya sebesar Rp. 854.052. Dimana pekerja sektor pertanian berada di bawah nilai rata-rata tersebut yaitu untuk pekerja laki-laki hanya sebesar Rp. 790.480 dan untuk pekerja perempuan hanya sebesar Rp. 626.526.

Kebijakan Pangan Murah

Setelah “mengorbankan” petani, pemerintah Orde Baru tentunya mengharapkan efek yang setimpal, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkat industrialisasi yang pada akhirnya akan memangkas pengangguran. Namun, ada beberapa hal yang sepertinya terlewatkan oleh para pengambil kebijakan pada masa itu. Pertama, kebijakan pangan murah akan memperkecil insentif untuk berada di sektor pertanian. Kedua, kebijakan pangan murah yang mengakibatkan upah buruh menjadi murah akan memperbesar insentif untuk berada di sektor industri. Akibatnya, ketika banyak industri baru tumbuh akan terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri karena kesenjangan insentif tadi.

Lebih jauh lagi, dengan kebijakan pangan murah dapat dikatakan bahwa pemerintah telah memperkecil insentif untuk hidup di desa (pertanian) dan memperbesar insentif untuk hidup di kota (industri). Maka tidak mengherankan jika fenomena urbanisasi selalu saja berulang, bukan apa-apa, ini cuma masalah insentif. Kesenjangan insentif ini juga yang menjelaskan mengapa kebijakan transmigrasi tidak populer di masyarakat. Hal ini karena kebijakan transmigrasi tidak menyentuh akar persoalan kenapa masyarakat enggan tinggal di desa, yaitu masalah insentif untuk hidup.

Fenomena urbanisasi ini bisa kita lihat dari data BPS tentang migrasi yang memerlihatkan data bahwa dari tahun 1971-1995, daerah dengan kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Lampung dan Riau-lah yang menjadi daerah tujuan migrasi dan menerima banyak migran dari daerah lain. Sedangkan daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara adalah daerah-daerah yang menjadi asal migran terbesar. Yang menarik adalah daerah-daerah minus di bagian timur Indonesia tidak terlalu mencolok dalam bermigrasi. Hal ini mungkin akibat pengaruh dari informasi dan kemudahan akses antara daerah asal dengan daerah tujuan migrasi.

Namun yang paling fatal dari itu semua adalah kecepatan perpindahan pekerja dari sektor pertanian ternyata lebih besar daripada kecepatan penyerapan pekerja oleh sektor industri, akibatnya adalah pertumbuhan pengangguran di perkotaan menjadi sangat cepat. Angka pertumbuhan penduduk kota menjadi sangat tinggi, terutama pada periode tahun 1980-1990 (7,85 persen per tahun). Dengan pertumbuhan setinggi itu dan kualitas pendatang yang tidak memenuhi kriteria industri karena tidak berpendidikan dan tidak berkeahlian jelas akan menimbulkan pengangguran di kota.

Jadi, alih-alih untuk mendorong pertumbuhan dan mengurangi pengangguran, kebijakan pangan murah dengan metode yang diperagakan oleh pemerintah Orde Baru justru telah menyebabkan terkonsentrasinya pembangunan dan malah menyebabkan pengangguran serta masalah-masalah baru lainnya seperti masalah kependudukan, tata kota, kriminalitas serta munculnya slum area di perkotaan. Fenomena ini sejalan dengan teori Todaro (1976) yang menjelaskan bahwa terjadinya perpindahan penduduk disebabkan oleh tingginya pendapatan yang dapat diperoleh di daerah tujuan. Kesenjangan pendapatan yang besar antara desa dan kota mendorong penduduk desa untuk datang ke kota.  

Perlukah Kebijakan Pangan Murah?

Jika melihat pemaparan diatas, apakah itu berarti kebijakan pangan murah tidak dibutuhkan? Tidak juga, karena faktanya sebagian besar masyarakat kita memang membutuhkan pangan yang murah, kebanyakan dari kita masih miskin. Bahkan petani kita yang kebanyakan buruh tani juga membutuhkan pangan murah. Tidak realistis bagi pemerintah untuk tidak mengadopsi kebijakan pangan (beras) murah di negeri yang 95% dari 220 juta penduduknya mengonsumsi beras ini.

Menjaga harga beras tetap rendah bagi pemerintah haruslah menjadi prioritas utama karena harga beras sangat memengaruhi laju inflasi di Indonesia. Laju inflasi sendiri akan memengaruhi tingkat suku bunga, sedangkan tingkat suku bunga yang rendah dan stabil adalah salah satu syarat bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kenaikan tingkat suku bunga dapat mematikan sektor riil yang pada akhirnya akan mengakibatkan pengangguran juga. Jadi jelas, rezim manapun di negeri ini pasti akan mati-matian menjaga agar harga beras tetap rendah demi menjaga kepercayaan masyarakatnya. Tidak menentunya harga beras dapat mengakibatkan tidak menentunya pula nasib rezim tersebut di pucuk kekuasaan.

Namun jika kondisinya demikian, maka kita seolah-olah dihadapkan pada keadaan yang serba salah dimana pengangguran akan selalu terjadi baik ketika harga pangan murah maupun mahal. Harga pangan yang murah terbukti menimbulkan pengangguran akibat kesenjangan insentif antara sektor pertanian dengan sektor industri, sedangkan harga pangan yang mahal akan mematikan sektor riil dan menimbulkan pengangguran juga. Pada akhirnya pemerintah memang memilih kebijakan pangan murah, karena walaupun sama-sama menimbulkan pengangguran, paling tidak kebijakan pangan murah tidak akan menimbulkan inflasi yang tinggi. Sehingga indeks kesengsaraan (mysery index) masyarakat bisa dijaga tidak terlalu tinggi.

Namun permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada pilihan bahwa harga pangan harus murah atau mahal. Dari semula kita memang tidak memiliki pilihan untuk menaikkan harga pangan, ia memang harus murah demi menjaga laju inflasi tetap rendah dan mencegah merosotnya taraf hidup sebagian besar masyarakat kita. Pemerintah sudah memilih benar bahwa harga pangan harus rendah, hanya saja pendekatan yang digunakannya masih salah. Kesalahan pendekatan itulah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan insentif antara sektor pertanian dengan sektor industri yang mengakibatkan pengangguran. Untuk mengetahui pendekatan apa yang sebaiknya digunakan untuk menurunkan harga beras namun tidak menyebabkan kesenjangan antara sektor pertanian dengan sektor industri kita harus memahami struktur pasar beras terlebih dahulu.

Memahami Pasar Beras Dalam Negeri

Jika kita bicara tentang beras, maka kita harus mengakomodasi dua kepentingan didalamnya, produsen (petani) dan konsumen (masyarakat). Kepentingan petani dan masyarakat akan bertemu dan beririsan di satu titik, yaitu harga. Secara alami terdapat trade-off didalamnya karena kepentingan keduanya saling beririsan, keuntungan yang berlebihan di satu pihak akan membebani pihak yang lain. Pemerintah selaku regulator idealnya harus dapat menjaga agar harga itu dapat menguntungkan kedua belah pihak, yaitu dapat memberikan insentif pada petani untuk meningkatkan produksinya sekaligus tidak membebani masyarakat. Dengan kata lain pemerintah harus memperkecil atau bahkan menghilangkan trade-off yang ada.

Dengan asumsi bahwa masyarakat menyukai harga beras murah dan petani menyukai harga beras tinggi, maka kita bisa membenarkan pernyataan bahwa secara alami memang terdapat trade-off antara masyarakat dengan petani. Namun fenomena yang kita alami sekarang tidak menunjukkan hal itu, saat ini masyarakat mengeluhkan tingginya harga beras, tapi tetap saja petani pun tidak mendapat keuntungan. Tidak terjadi trade-off disini, namun dalam artian yang negatif, karena justru tidak ada yang memeroleh keuntungan. Ada apa?

Ternyata masalah perberasan kita tidak lepas dari permasalahan di jalur distribusinya. Distribusi beras menjadi unik karena sifatnya yang berbeda dengan distribusi barang lain, distributor dalam industri beras sebenarnya juga berperan sebagai produsen. Hal ini karena petani sebenarnya hanya memroduksi barang setengah jadi berupa gabah, selanjutnya gabah itu akan digiling (dalam jalur distribusi), kemudian baru dijual dalam bentuk beras.

Ternyata yang jadi penyebab kenapa tidak terjadi trade-off antara petani dengan masyarakat saat ini adalah karena keuntungan terbesar dari industri beras diambil di jalur distribusinya. Bayangkan saja, memakai kasus panen raya tahun 2007, dengan asumsi harga gabah rata-rata Rp 2500 per kg dan harga beras rata-rata Rp 5000 per kg (bahkan mencapai Rp 6000 per kg), maka marjin antara gabah dengan beras per Maret 2007 mencapai rata-rata Rp 2500 per kilogramnya. Melihat hal itu, maka tingginya harga beras patut diduga sebagian besar keuntungannya diambil di jalur distribusinya.

Kenaikan harga beras tahun 2007 kemarin langsung direspon pemerintah dengan mengumumkan akan melakukan impor beras. Kebijakan impor beras diharapkan akan menekan harga beras dalam negeri. Benar saja, berita kedatangan beras impor langsung menurunkan harga beras di beberapa sentra perdagangan beras. Para spekulan yang menimbun banyak beras merasa khawatir bahwa kedatangan beras impor akan menurunkan harga beras dalam negeri, akhirnya mereka melepas stok berasnya ke pasar. Harga beras pun turun kembali, namun selesaikah persoalan?

Persoalan utama dari kenaikan harga beras adalah karena adanya penimbunan yang dilakukan oleh para spekulan beras. Para spekulan bisa melakukan penimbunan beras karena mereka menguasai stok beras nasional. Hal ini bisa terjadi karena para petani lebih memilih menjual gabah mereka kepada tengkulak daripada kepada Bulog. Hal ini bisa dimengerti sebab selain para tengkulak bersikap proaktif dengan mendatangi petani, harga dasar yang ditetapkan pemerintah atas gabah sangat rendah dibandingkan harga yang ditawarkan tengkulak. Harga pembelian pemerintah (HPP) per Maret 2007 atas gabah hanya sebesar Rp 1730 per kg gabah kering panen (GKP), sedangkan tengkulak bisa membelinya dengan harga antara Rp 2000 – Rp 2500 per kg.

Impor beras memang bisa mengatasi kelangkaan beras, namun tidak bisa mengembalikan kontrol pemerintah atas distribusi beras. Jadi impor beras sebenarnya bukan solusi terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi, ia mungkin bisa menjadi shock therapy untuk menurunkan harga beras dalam negeri, namun tidak bisa dijadikan kebijakan utama yang berkelanjutan. Permasalahannya terletak pada ketidakmampuan pemerintah dalam menguasai stok beras nasional karena HPP yang terlalu rendah, jadi solusinya pun dengan menaikkan HPP sehingga petani mau menjual berasnya kepada Bulog. Bulog pun harus bersikap proaktif seperti tengkulak dalam membeli beras petani. 

 

Kesimpulan


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa secara alami terdapat trade-off antara masyarakat dengan petani. Namun, belajar dari kasus tahun 2007, kita tidak melihat trade-off tersebut, tapi justru dalam artian yang negatif karena kenaikan harga beras yang membuat masyarakat menjadi worse-off ternyata tidak membuat petani menjadi better-off. Dalam kesimpulan sebelumnya telah disebutkan bahwa petani maupun masyarakat worse-off karena keuntungannya di ambil oleh para spekulan (distributor).

Jika kita lihat dengan lebih jernih, ternyata ada blessing in disguise (berkah terselubung) disini. Para spekulan secara meyakinkan telah menunjukkan kepada kita bahwa ternyata antara petani dengan masyarakat bisa tidak terjadi trade-off, walaupun dalam hal ini kedua pihak justru merugi. Tapi intinya para spekulan telah membuktikan bahwa trade-off bisa dihapuskan dengan memainkan peran distributor di dalamnya. Dalam kasus ini, ketika distributor mengambil keuntungan secara berlebihan maka produsen dan konsumen akan merugi. Berarti logikanya, jika distributor yang merugi, maka produsen dan konsumen yang akan diuntungkan. Dengan kata lain, kita harus memindahkan insentif sektor pertanian dari distributor kepada produsen dan konsumen.

Memang kebijakan ini akan mengorbankan jalur distribusi beras, namun hal ini perlu dilakukan agar insentif dari sektor pertanian jatuh ke tangan yang tepat, yaitu sektor yang produktif bukan spekulatif. Bukannya penulis menyebut jalur distribusi itu tidak produktif, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kini unsur spekulasilah yang menjadi daya tarik utama untuk bermain di jalur distribusi beras. Menurut Mubyarto, distribusi atau tata niaga di bidang pertanian sangat diperlukan dan tidak bisa dianggap sektor yang tidak produktif karena juga memerlukan keahlian tersendiri. Namun dalam kondisi persaingan di tingkat distributor yang tidak sehat dan timpang dengan petani, juga memerhatikan terjadinya praktik penimbunan maka bisa dikatakan fungsi distribusi tidak berjalan dengan efisien. Untuk memercepat pertumbuhan tidak ada salahnya pemerintah mengambil alih fungsi distribusi beras untuk sementara waktu.

Untuk itu, kita harus mengoptimalkan kembali peran Bulog sebagai distributor yang idealnya tidak boleh mengejar profit. Bulog seharusnya melindungi petani dengan menetapkan harga dasar gabah dan beras yang wajar. Dengan demikian, maka kenaikan harga beras tidak akan terjadi karena seluruh hasil panen akan masuk ke gudang Bulog sehingga tidak ada penimbunan beras oleh para spekulan. Dengan cara ini maka permasalahan utama kelangkaan beras, yaitu hilangnya kontrol pemerintah atas distribusi beras dapat diatasi. Akhirnya pemerintah dapat menjaga kepentingan petani maupun masyarakat, yaitu harga gabah yang tinggi namun harga beras tetap rendah. Terbukti, bahwa trade-off antara petani (produsen) dan masyarakat (konsumen) bisa dihilangkan dengan membebankan biayanya pada pemerintah (distributor).

Apa implikasi dari kondisi ini terhadap pengangguran di Indonesia? Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pengangguran di Indonesia terjadi karena terdapat kesenjangan insentif antara sektor pertanian dengan sektor industri. Maka fokus kita untuk mengatasi pengangguran harus bermula dari mengurangi kesenjangan insentif antara kedua sektor tersebut.

Mengurangi kesenjangan antar sektor dilakukan bukan dengan memperkecil insentif di sektor industri (menaikkan harga beras), melainkan dengan meningkatkan insentif di sektor pertanian (menaikkan harga gabah). Dengan kebijakan perberasan yang menguntungkan petani dan masyarakat, maka insentif di kedua sektor akan meningkat. Harga gabah yang tinggi akan menaikkan insentif di sektor pertanian sementara harga beras yang murah merupakan insentif bagi sektor industri. Dengan demikian maka kebijakan ini diharapkan akan mampu mengurangi angka urbanisasi yang berdampak pada berkurangnya angka pengangguran di Indonesia. Selain itu kebijakan ini juga tetap akomodatif terhadap kepentingan sektor industri.



Daftar Referensi
1. Dwiyanto, Agus et al., 2006; Pelaksanaan Good Governance dalam Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 
 2. Mubyarto. 1995, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES.
3. Todaro, Michael. 1997, Economic Development, Sixth Edition, Longman.
4. Romdiati, Haning dan Mita Noveria. 2004; Mobilitas Penduduk Antar Daerah Dalam Rangka Tertib Pengendalian Migrasi Masuk ke DKI Jakarta, Jakarta: www.ppk.lipi.go.id/file/publikasi/Sem-DKI,04.rtf  
5. Basri, Faisal. 2005; Impor Beras: Keterlaluan. Jakarta: Kompas 


No comments:

Post a Comment