18 April, 2010

Suku Bunga, Inflasi dan Ketidakadilan Ekonomi



Oleh:
Rachmad Satriotomo (2006)
Mahasiswa FEUI

 
“Like slavery and apartheid, poverty is not natural. It is man made and it can overcome and eradicated by the action of human beings”                                                                                                                                                                                               (Nelson Mandela)

Uang bekerja secara alami ketika ia membiayai suatu kegiatan produksi dan mendapat keuntungan dari hasil produksi tersebut. Artinya jumlah uang akan bertambah sesuai dengan pertambahan hasil produksi. Dengan kata lain penambahan kesejahteraan haruslah berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan, logika yang tidak sulit dimengerti. Penambahan jumlah uang yang tidak diimbangi dengan penambahan jumlah produksi barang dan jasa akan mengakibatkan nilai uang menurun terhadap barang dan jasa, kita menyebutnya inflasi.

Inflasi Vs. Suku Bunga

Pandangan umum yang berlaku saat ini adalah bahwa suku bunga memiliki hubungan yang negatif dengan inflasi, menaikkan suku bunga berarti menurunkan inflasi. Ketika suku bunga dalam perekonomian naik maka orang akan tertarik untuk menyimpan uangnya di bank, sehingga akan mengurangi jumlah uang beredar, akibatnya saat itu inflasi turun. Tetapi konsekuensi dari penerapan suku bunga adalah adanya besaran tertentu yang nilainya sudah ditentukan di awal yang harus dibayar oleh bank kepada nasabah pada saat bunga tersebut jatuh tempo.

Misal, pada awalnya dalam sebuah perekonomian terdapat uang beredar sebanyak Rp 3000 triliun, lalu dengan bunga sebesar 10% sektor perbankan berhasil menyerap sepertiga dari dana tersebut atau setara dengan Rp 1000 triliun. Yang terjadi kemudian adalah deflasi, jumlah uang beredar dalam perekonomian tersebut turun menjadi duapertiganya saja atau Rp 2000 triliun. Tapi, setahun setelah itu ketika bunga telah jatuh tempo, perbankan harus membayar sejumlah 10% dari Rp 1000 triliun atau Rp 100 triliun kepada perekonomian. Maka, sekarang total uang dalam perekonomian dan perbankan menjadi Rp 3100 triliun. Jadi, alih-alih untuk mengurangi inflasi, penerapan suku bunga justru berpotensi mendatangkan inflasi yang lebih besar di kemudian hari.

Melanjutkan contoh kasus yang tadi, sebetulnya tidak menjadi masalah ketika jumlah uang dalam perekonomian tersebut bertambah Rp 100 triliun asalkan perekonomian itu juga mampu menghasilkan tambahan produksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun dalam tempo yang sama. Jika hal itu bisa dilakukan maka tidak akan terjadi inflasi karena penambahan jumlah uang diikuti dengan penambahan jumlah barang dan jasa. Tapi yang jadi masalah saat ini adalah tidak adanya keterkaitan antara sektor riil dengan sektor finansial.

Dalam contoh diatas, melalui suku bunga sebesar 10% sektor finansial menentukan bahwa dalam setahun kedepan jumlah uang akan bertambah sebanyak Rp 100 triliun, sedangkan yang menentukan bertambahnya jumlah barang dan jasa adalah sektor riil, yang belum tentu mampu memproduksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun dalam setahun. Ketika sektor riil tidak mampu menandingi ‘kinerja’ sektor finansial, maka yang terjadi adalah inflasi. Jadi inti permasalahannya adalah tidak adanya keterkaitan antara sektor finansial dengan sektor riil, dan faktor yang menyebabkan saling lepasnya antara sektor finansial dan sektor riil adalah penerapan suku bunga. Jadi perlu dikoreksi pendapat yang menyebutkan bahwa tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan tingkat inflasi.

Ketidakadilan Suku Bunga

Di buku-buku pengantar tentang ilmu ekonomi selalu saja disebutkan bahwa ketika pemerintah mencetak uang terlalu banyak, maka yang terjadi adalah inflasi. Tapi seringkali kita lupa bahwa bank juga dapat ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan bunga atasnya, money creation by the bank, dan itupun dapat menyebabkan inflasi.

Inflasi akan merugikan ketika kita adalah orang dengan penghasilan yang tetap, maka naiknya nominal harga-harga tidak diikuti oleh naiknya nominal pendapatan kita. Tetapi inflasi tidak akan merugikan bahkan menguntungkan jika kita adalah orang yang memiliki deposito dalam jumlah besar di bank konvensional, artinya inflasi akan menguntungkan ketika kita memiliki banyak uang untuk diputar dengan instrumen bunga.

Penerapan suku bunga akan menambah jumlah uang ke dalam suatu perekonomian, tetapi yang jadi masalah adalah uang yang baru masuk ke dalam perekonomian tersebut tidak terdistribusikan secara merata kepada seluruh pelaku ekonomi, melainkan ketangan segelintir pemilik modal saja yaitu orang-orang yang memiliki sejumlah besar uang di bank. Akibatnya biaya inflasi sebagian besarnya ditimpakan kepada orang yang tidak menerima uang baru tersebut, yaitu orang-orang miskin yang tidak memiliki uang di bank. Mereka tidak menikmati uang baru tersebut, tetapi mereka tetap terkena imbasnya, yaitu inflasi. Sementara orang-orang kaya menikmati bunga dari uangnya tersebut dengan mengorbankan orang-orang miskin yang harus menanggung biaya inflasi.

Kita mengenal inflation tax sebagai pajak yang diambil oleh pemerintah dari orang yang memegang uang dengan cara pemerintah mencetak lebih banyak uang uang membiayai kebijakan ekspansi ekonominya. Tapi ternyata inflation tax bisa juga bermakna sebagai ‘pajak’ yang diambil oleh pemilik modal dari masyarakat umum ketika perbankan ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan sejumlah bunga atasnya. Bahkan kita harus lebih mewaspadai efek inflasi akibat penciptaan uang oleh bank daripada penciptaan uang oleh pemerintah, karena bank selalu menciptakan uang sedangkan pemerintah lebih jarang.

Praktik pembungaan uang ini akan mengakibatkan orang miskin tidak dapat kaya dan orang kaya tidak dapat miskin, karena konsentrasi kekayaan terjadi secara sistematis dan terstruktur. Sehingga fenomena kemiskinan saat ini dikenal juga dengan sebutan kemiskinan struktural. Dengan kata lain terdapat kejahatan legal yang memiskinkan tiga perempat penduduk dunia secara sistematis dalam dunia modern kita.

Back To It’s Nature


Dunia perbankan yang menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar seharusnya memiliki tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di sektor riil. Karena menurut cara kerja alamiahnya sektor riil-lah yang ‘memberi makan’ sekor finansial, sektor riil lah yang menentukan penghasilan sektor finansial, bukan sektor finansial yang menentukan berapa harga yang harus dibayar oleh sektor riil kepadanya.

Jika suku bunga terlalu tinggi, sektor riil yang bekerja dan menanggung risiko usaha justru biasanya hanya mendapat sedikit dari hasil usahanya, sebagian besar habis untuk membayar bunga yang tinggi, sedangkan sektor finansial yang tidak bekerja dan tidak menanggung risiko justru mencetak laba yang tinggi. Bukankah yang seperti ini bisa dibilang pemerasan sistematis? Skenario paling pesimisnya, seperti dikatakan Willem Hoogendijk, adalah bahwa sektor perbankan saat ini disebut sebagai mesin transfer yang memindahkan uang secara otomatis dari tempat yang kekurangan uang (debitor) ke tempat yang kelebihan uang (kreditor).

Tidak ada cara lain, untuk menyelamatkan perekonomian, kita harus membenahi dulu sistem perbankan kita dengan cara mengembalikan logika bahwa sektor riil-lah yang menentukan pendapatan sektor finansial, bukan sektor finansial yang menetapkan berapa harga yang harus dibayar oleh sektor riil atas dana yang dipinjamnya. Dengan kata lain perbankan harus mengubah pola interaksinya terhadap sektor riil, dari yang selama ini menetapkan keuntungan di awal menjadi menetapkan keuntungan di akhir, dari sistem suku bunga menjadi sistem bagi hasil.

No comments:

Post a Comment