18 April, 2010

Ironi Pengamat



Oleh:
Rachmad Satriotomo (2010)
Asisten Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), Jakarta dan Sivitas Akademika FEUI

Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas opini Achmad Deni Daruri di Republika (08/04/10). Untuk baca klik disini.

Pada Republika (Kamis, 8/04), saudara Achmad Deni Daruri menulis opini dengan judul “Institusi Pajak Kementerian Tersendiri”. Menurut penulis, opini saudara Achmad Deni Daruri tersebut agak kacau logikanya, bukan karena penulis tidak sependapat, melainkan karena penulis tidak mengerti alur berpikir saudara Achmad Deni Daruri. Dari opini saudara Achmad Deni Daruri tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa pengamat harus berhati-hati dalam mengeluarkan pendapatnya.

Pada kolom opini tersebut saudara Achmad Deni Daruri menyebut berbagai istilah yang menurut penulis abstrak seperti neoliberal dan mafia berkeley. Bukan istilahnya yang abstrak, melainkan penggunaannya yang tidak jelas karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan kata-kata tersebut, siapa saja orang-orangnya dll. Inti dari opini saudara Achmad Deni Daruri adalah kritik atas terlalu berkuasanya Kementerian Keuangan di Indonesia karena membawahi terlalu banyak badan. Sebuah hal yang wajar sebenarnya, namun sayang tidak didukung data dan logika yang baik. Menurut saudara Achmad Deni Daruri Kementerian Keuangan adalah agen neoliberal di Indonesia, menurutnya hal ini ditunjukkan dengan duduknya orang-orang neoliberal di posisi-posisi penting di Kementerian itu dan badan-badan di bawahnya seperti Bapepam-LK, Ditjen Pajak, dan Ditjen Bea dan Cukai. Bahkan disebutkan bahwa terdapat kaderisasi mafia berkeley di Kementerian Keuangan. Sebuah pernyataan yang tendensius dan seharusnya disertai bukti dalam mengungkapkannya. Menurut penulis, merupakan hal yang tidak bertanggung jawab melempar begitu saja isu gelap ke tengah-tengah masyarakat.

Ada banyak hal yang bisa dipertanyakan dari opini saudara Achmad Deni Daruri, namun penulis ingin memfokuskannya pada persoalan yang menurut penulis paling mendasar. Di opini tersebut saudara Achmad Deni Daruri mengutip pernyataan Prof Soemitro Djojohadikusumo bahwa APBN Indonesia selama periode Orde Baru bocor sebesar 30% dan mengaitkannya dengan kasus Gayus Tambunan. Kebocoran APBN 30% itu kemudian dikaitkan pula dengan pernyataan bahwa hal itulah yang menyebabkan Tobin Tax tidak pernah efektif diterapkan di Indonesia. Ada kesalahan mendasar dari pernyataan tersebut, yaitu Prof Soemitro Djojohadikusumo tidak pernah menyebutkan bahwa APBN Indonesia bocor 30%. Wacana kebocoran APBN sebesar 30% ini memang sempat mengemuka pada tahun 1993 ketika wartawan salah mengutip obrolan para ekonom, yang disebut saudara Achmad Deni Daruri sebagai mafia berkeley, saat makan siang di pojok ruangan saat berlangsungnya kongres ISEI di Surabaya. Setelah wacana itu beredar luas, Prof Soemitro Djojohadikusumo menulis sebuah artikel untuk mengklarifikasi hal tersebut, yaitu “Sekitar Masalah Pemborosan 30%”.

Di artikel tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud oleh Prof Soemitro Djojohadikusumo adalah inefisiensi dari perekonomian Indonesia sebesar 30%. Kesimpulan ini beliau dapatkan saat membandingkan angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia dengan negara-negara ASEAN. ICOR biasa digunakan untuk mengukur tambahan modal (investasi) yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan pendapatan (PDB) tertentu dalam perekonomian. Angka ICOR sebesar 5 berarti perekonomian membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 5 untuk menghasilkan tambahan PDB sebesar Rp 1. Berarti, semakin tinggi angka ICOR mengindikasikan semakin inefisien suatu perekonomian dalam menggunakan sumber daya.

Pada saat itu angka ICOR Indonesia sebesar 4,9 (yang kemudian dibulatkan menjadi 5) sementara untuk negara-negara ASEAN, yang notabene negara berkembang, memiliki angka sebesar 3 sampai 3,5. Dari situ kemudian Prof Soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia lebih berbiaya tinggi relatif terhadap negara-negara ASEAN yang lain. Menurut beliau, karena karakteristik perekonomian yang relatif sama, seharusnya Indonesia juga bisa meraih efisiensi seperti negara-negara ASEAN yang lain yaitu dengan memiliki angka ICOR 3,5. Karena angka ICOR Indonesia saat itu sebesar 5, maka disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia mengalami kebocoran sebesar (5-3,5)/5 x 100%, yaitu 30%. Lebih tepatnya pemborosan, bukan kebocoran.

Karena pernyataan yang dikutip di awal sudah salah maka kesimpulan saudara Achmad Deni Daruri berikutnya menjadi tidak relevan lagi untuk dibahas. Apalagi membawa-bawa efektifitas penerapan Tobin Tax yang merupakan pajak untuk perdagangan valuta asing, sungguh tidak ada relevansinya sama sekali dengan kebocoran APBN.

Kemudian saudara Achmad Deni Daruri juga menyatakan sebaiknya institusi perpajakan dihapuskan jika masih berada di bawah Kementerian Keuangan. Setelah itu disebutkan bahwa kaum neoliberal mendapatkan pendapatan bunga dari utang luar negeri dan konsesi masuknya PMA, khususnya di sektor pertambangan.

Menurut penulis, pendapat saudara Achmad Deni Daruri tentang penghapusan institusi perpajakan merupakan sebuah usulan yang menunjukkan yang bersangkutan kurang memahami persoalan fiskal. Bagaimana mungkin negara dapat bertahan jika tidak ada pemasukan dari pajak. Kemudian masalah kaum neoliberal mendapatkan bunga dari utang luar negeri juga aneh, karena kalau negara kita yang berutang, maka logikanya adalah kita yang membayar bunganya. Juga masalah konsesi pertambangan, harus ada data untuk berbicara seperti itu.  

Pada akhirnya saudara Achmad Deni Daruri membebankan dosa Gayus Tambunan dan komplotannya kepada kaum neoliberal yang menurutnya bertanggung jawab atas terjadinya skandal pajak tersebut. Alangkah mudahnya solusi setiap persoalan di negeri ini, apapun masalahnya yang bersalah adalah neoliberal. Seorang intelektual seharusnya lebih bertanggung jawab dalam mengeluarkan pendapatnya sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Semoga ini dapat menjadi koreksi bagi kita semua.


No comments:

Post a Comment