04 April, 2012

Kenapa Sulit Mendepak PKS dari Koalisi?


Artikel ini bukan merupakan analisis politik, hanya mencoba melihat politik dengan pendekatan ekonomi. Dalam ilmu ekonomi setiap manusia diasumsikan rasional dan mengejar keuntungan pribadi. Terdengar jahat mungkin, tapi justru karena itu maka manusia bisa diperkirakan perilakunya. Pertimbangan biaya-manfaat adalah hal yang inheren dalam pengambilan keputusan seorang manusia normal. Tak terkecuali bagi seorang Presiden SBY.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa sulit sekali bagi Presiden SBY untuk mendepak PKS dari koalisi walau sudah terbukti tidak setia kepada koalisi. Kerumitan persoalan koalisi ini adalah sebuah game theory antara Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS dan anggota koalisi yang lain (PAN, PPPP, PKB). Partai oposisi (PDIP, Gerindra, Hanura) tidak perlu dibahas lagi karena sikapnya sudah jelas, oposisi. Untuk mengetahui bagaimana game theory berjalan kita perlu mengetahui peta kekuatan masing-masing pihak terlebih dahulu.
Peta kekuatan partai politik Indonesia hasil Pemilihan Umum 2009 adalah sebagai berikut:
Komposisi Fraksi-Fraksi di DPR RI 2009-2014
Fraksi
Jumlah Kursi
Persentase
Demokrat
150
26,79%
Golkar
107
19,11%
PDIP
95
16,96%
PKS
57
10,18%
PAN
43
7,68%
PPP
37
6,61%
PKB
27
4,82%
Gerindra
26
4,64%
Hanura
18
3,21%
Total
560
100%
Sumber: Komisi Pemilihan Umum


Dari hasil Pemilihan Umum 2009 Presiden SBY membentuk koalisi besar dengan kekuatan 75,18 persen kursi parlemen. Koalisi tersebut terdiri atas Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Sementara pihak oposisi hanya menguasai 24,82 persen kursi parlemen. Oposisi terdiri atas PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Sekilas terlihat kekuatan pemerintah cukup besar untuk bisa memuluskan program-programnya di parlemen sampai tahun 2014, tapi seperti halnya sebuah kartel, koalisi juga tidak stabil. Anggota koalisi berusaha memaksimalkan kepentingannya masing-masing.
Dalam sebuah kartel tujuan bersama anggotanya adalah memperoleh surplus konsumen tertinggi, karena itu kartel bersepakat tentang tingkat produksi tertentu untuk menjaga agar harga berada di tingkat tertentu yang lebih tinggi dari tingkat harga normal. Dalam kartel masing-masing anggota diberi kuota produksi tertentu, dengan tingkat harga tertentu maka keuntungan masing-masing anggota sudah jelas hitungannya. Ada kalanya anggota kartel nakal, demi mengejar keuntungan pribadi ia menaikkan produksinya sendiri. Jika hal ini dilakukan oleh semua anggota kartel maka produksi akan meningkat dan harga akan turun. Jika demikian kartel bubar.
Dalam koalisi tujuan bersama anggotanya adalah memperoleh suara tertinggi dalam pemilihan umum berikutnya. Pertanyaannya adalah mekanisme apa yang menjamin keuntungan koalisi akan terbagi rata dalam pemilihan umum berikutnya? Kredit terbesar keberhasilan pemerintahan koalisi pasti akan jatuh kepada Partai Demokrat selaku pemimpin koalisi dan partai Presiden SBY. Satu-satunya mekanisme yang dimiliki oleh anggota koalisi untuk menunjukkan prestasinya kepada publik adalah melalui kementerian yang menjadi jatahnya dalam koalisi. Karena itu biasanya partai politik lebih menyukai posisi menteri yang kementeriannya memiliki banyak program yang bersentuhan dengan masyarakat dan mengelola anggaran besar. Pun demikian, kredit kepada Partai Demokrat atas kinerja kementerian tersebut tetap tidak hilang.
Cara lain untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat adalah dengan membangkang pada keputusan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, misalnya dalam kasus Century dan kenaikan harga BBM. Dalam dua kasus ini kita bisa lihat bagaimana Golkar dan PKS menunjukkan ketidaksetiaannya kepada koalisi.
Karena itu maka sifat inheren dalam koalisi besar ini adalah ketidaksetiaan (disloyalty). Tidak ada insentif bagi entitas partai politik untuk setia kepada koalisi karena akan berujung kepada merosotnya suara mereka di pemilihan umum berikutnya. Mungkin karena itu ketua umum partai diikat kesetiaannya dengan posisi menteri. Kita bisa lihat hanya partai yang ketua umumnya menjadi menteri saja yang setia kepada koalisi yaitu PAN, PPP, dan PKB karena mungkin ada konflik kepentingan antara kepentingan pribadi ketua umum dengan kepentingan partainya. Partai seperti Golkar dan PKS yang ketua umumnya bukan menteri bermanuver bebas dalam koalisi. PKS bahkan mengganti presiden partainya ketika dilantik menjadi menteri.
Manuver Golkar dan PKS dalam koalisi ini tidak terlepas dari kekuatan mereka di parlemen. PKS tahu benar jika keberadaannya dalam koalisi dibutuhkan oleh Presiden SBY untuk mendapat dukungan parlemen. Walaupun kursi PKS di parlemen hanya sekitar 10 persen namun keberadaannya di koalisi mengunci pergerakan Golkar.



Jika PKS dikeluarkan maka kekuatan koalisi tinggal 65 persen kursi parlemen, sementara kekuatan oposisi menjadi 35 persen kursi parlemen. Koalisi masih menang. Namun dalam posisi ini Golkar yang menguasai 19,11 persen kursi parlemen menjadi kunci dukungan parlemen bagi program pemerintah. Daya tawar Golkar menjadi sangat tinggi sehingga kestabilan pemerintahan akan sangat tergantung kepada transaksi politik antara Presiden SBY dengan Golkar.
Jika Presiden SBY berani mendepak PKS dari koalisi maka pastinya sudah ada jaminan dari Golkar untuk tidak mengganggu jalannya pemerintahan sampai tahun 2014. Kompensasinya bisa dalam bentuk apapun, diberi tambahan kursi menteri misalnya. Itu wajar, yang berbahaya adalah jika kompensasi tersebut mewujud dalam bentuk dukungan kebijakan dan anggaran kepada bisnis politisi Golkar. Seperti kita tahu bahwa dengan posisi sekarang saja tiap tahun APBN mengeluarkan anggaran sekitar Rp 1,3 triliun untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), yang notabene bencana tersebut terkait dengan bisnis Ketua Umum Partai Golkar. Karena itu wajar jika Presiden SBY sangat sulit mendepak PKS dari koalisi karena keberadaannya dibutuhkan untuk meredam manuver Golkar. PKS juga sadar strategisnya posisi mereka bagi Presiden SBY, inilah yang menjadi sumber kepercayaan diri PKS untuk tetap bermanuver demi meraih simpati publik menjelang tahun 2014.

Bagaimanapun keputusan akhir berada di tangan Presiden SBY, bukan keriuhan Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai-Partai Koalisi. Kalaupun pada akhirnya PKS didepak dari koalisi maka PKS sudah mendapat pesangon yang cukup yaitu citra sebagai partai yang terzhalimi dikeluarkan dari koalisi karena membela rakyat. Isu ini akan dipelihara terus sampai tahun 2014. Maka, kalaupun keluar PKS tidak mungkin mengundurkan diri, tapi harus dikeluarkan. Pertanyaannya adalah apakah Presiden SBY berani menghadapi Golkar tanpa amunisi yang cukup? 

No comments:

Post a Comment