23 April, 2010

Monopoli Indofood dalam Persaingan Usaha Bisnis Makanan di Indonesia


Oleh:
Rachmad Satriotomo (2008)
Mahasiswa FEUI



Kondisi permintaan mie domestik yang tinggi dan adanya orientasi ekspor ke pasar luar negeri telah mendukung berkembangnya bisnis di bidang makanan instan dalam beberapa tahun terakhir. Para produsen melakukan diversifikasi produk dalam rangka menyesuaikan dengan keinginan pasar sehingga berbagai produk mie instan dengan berbagai ukuran dan cita rasa mudah ditemukan di pasar. Dengan makin banyaknya persaingan maka kesuksesan suatu perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kualitas produknya saja, tetapi juga oleh kemampuan perusahaan untuk mengidentifikasi mengenai kebutuhan dan keinginan konsumen yang heterogen sesuai dengan karakteristik dari masing-masing segmen pasar.

Kondisi Pasar Mie Instan Indonesia

Berdasarkan data PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. (2004-2006), perkembangan produksi mie instan di Indonesia memperlihatkan peningkatan yang positif, walaupun pada tahun 2006 sempat mengalami suatu penurunan produksi. Secara kuantitas, produksi mie instan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dengan tren yang positif. Perkembangan produk mie instan yang sudah dianggap sebagai makanan cepat saji dan bahkan sebagai makanan pokok, menyebabkan tingkat persaingan pada industri mie instan ini semakin tinggi.
Data GAPMMI (Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan Minuman Indonesia) menunjukkan, setiap orang Indonesia mengkonsumsi 52 bungkus mi setiap tahun. Itu artinya, setiap orang makan mi instan seminggu sekali. Dengan penduduk Indonesia 225 juta jiwa, bisa dibilang konsumsi mi instan setiap tahun 11,7 miliar bungkus. Angka sebesar ini, menurut Ketua GAPMMI Thomas Darmawan, menunjukkan betapa besarnya peluang bisnis mi instan di Indonesia. Selama ini Korea menduduki peringkat pertama. Konsumsi mi instan Negeri Ginseng ini pada 2001 mencapai 76 pak per kapita per tahun. Sedangkan Indonesia, tahun lalu saja baru mencapai 52 pak per kapita per tahun. GAPMMI optimistis satu saat konsumsi mi instan Indonesia bisa mencapai 70 pak per kapita per tahun. Keyakinan itu disebabkan oleh murahnya harga satu piring mi instan jika dibandingkan dengan harga satu piring nasi dan sayuran untuk sekali makan.
Monopoli Indofood

PT. Indofood Sukses Makmur adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan makanan yang hampir seluruh produknya menguasai pasar di Indonesia. Produk yang dihasilkan termasuk mie instan (Indomie, Sarimi, Supermi, Cup Noodles, Pop Mie, Intermie, Sakura). Indofood merupakan produsen mie instan terbesar dengan kapasitas produksi 13 miliar bungkus per tahun. Selain itu Indofood juga mempunyai jaringan distribusi terbesar di Indonesia. Posisi dominan Indofood pada pasar mi instan tidak diragukan lagi, dengan menguasai pangsa pasar lebih dari 80%. Secara teoretis suatu pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar 80% tidak saja dapat dikatakan mempunyai posisi dominan, tetapi juga telah memonopoli pasar yang bersangkutan.

PT Indofood Sukses Makmur telah memonopoli sektor mi instan semasa Orde Baru. Artinya sebelum adanya UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli), Indofood telah menguasai pangsa pasar 90% disektor mi instan dan 90% tepung terigu nasional melalui Bogasari Flour Mills. Penguasaan mie instan oleh Indofood diawali dengan penguasaan tepung terigu. Penguasaan tepung terigu adalah karena Bulog menunjuk Bogasari Flour Mills untuk mengolah biji gandum. Untuk jasa pengolahan tersebut Bulog membayar kepada Bogasari biaya produksi dan margin keuntungan. Tetapi di dalam pelaksanaannya, Bulog tidak terlibat langsung dalam proses pengoalahan biji gandum tersebut, sehingga Bulog tidak mempunyai cukup informasi mengenai struktur biaya. Akhirnya kebijakan harga gandum yang ditetapkan oleh Bulog tergantung kepada informasi yang diberikan oleh Bogasari.

Namun demikian monopoli tepung terigu tersebut belum dapat meningkatkan keuntungan yang maksimal. Untuk itu Indofood melakukan diversifikasi usaha ke hilir yaitu memproduksi makanan instan yang menggunakan bahan baku tepung terigu. Didirikanlah pabrik industri makanan seperti Indofood Jaya Raya, Sarimi Asli Jaya, Sanmaru Food Manufacturing, dan Arya Andalan Agung. Jadi, pada masa itu Indofood menguasai pasar hulu dan hilir tepung terigu. Saat ini Indofood mempunyai 80% pangsa pasar mi instan, pesaingnya PT Sayap Utama dari Groups Wing dengan Mie Sedaap menguasai pangsa pasar antara 10% sampai 15%, dan sisanya pesaing yang lain. Dari struktur pasar yang demikian dapat disimpulkan Indofood mempunyai posisi dominan, apalagi didukung kemampuan keuangan yang kuat, dan dapat menyesuaikan pasokan atau permintaan mi instan dipasar yang bersangkutan.

Menurut teori SCP (Structure-Conduct-Performance) kita mengetahui bahwa struktur dan tingkah laku (conduct) sebuah perusahaan memiliki hubungan dua arah. Di satu sisi sebuah perusahaan yang struktur pasarnya monopoli akan berkelakuan sebagai monopolis, sedangkan di sisi yang lain, sebuah perusahaan akan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar memiliki struktur pasar monopoli. Tujuannya jelas, untuk mendapatkan monopoly’s rent. Sedangkan sebuah perusahaan monopoli akan berusaha mempertahankan struktur pasarnya itu.

Begitu juga yang dialami oleh Indofood. Pada tahun 2003 Monopoly Watch menemukan indikasi PT Indofood Sukses Makmur (ISM) melakukan praktek jual rugi. Dari berbagai jenis kemasan mie instant yang diproduksi PT ISM, Tbk, ditemukan beberapa kemasan yang justru mengalami kerugian setelah dihitung melalui komponen-komponen produksinya. Sebagai contoh Mie Sakura memiliki harga pokok penjualan Rp 385 sedangkan harga jual pabrik hanya Rp 254. Untuk Mie Sayap harga pokok penjualannya adalah Rp 585 tetapi harga pabriknya hanya Rp 560. Belum lagi ditambah pemberian bonus mangkok atau piring.

Kenapa Indofood melakukan hal ini jelas karena ingin mempertahankan struktur monopoli pasarnya untuk tetap mendapatkan monopoly’s rent. Monopoly’s rent yang dimaksud indikasinya juga ditemukan oleh Monopoly Watch berupa biaya produksi yang tidak efisien dari PT ISM. Terdapat lima perusahaan yang sudah ditunjuk ISM, berperan sebagai perusahaan penghubung bisnis (brokerage) kepada PT ISM sehingga para pemasok bahan baku seperti cabe, garam, dan lainnya tidak dapat melakukan transaksi langsung dengan PT ISM. Akibatnya harga bahan baku tersebut menjadi lebih mahal dan harga produksi mie instant pun meningkat. Kelima perusahaan itu adalah PT Sugih Multi Bersama, PT Prima Sari Nuansa Indah, PT Teguh Nusa Griya, PT Fajar Cipta Murni, dan PT Lembayung Lambang Lestari.

Indofood Vs Wingsfood: Matinya Produsen Kecil

Persaingan antara Indofood dan Wingsfood dinilai berpotensi menghancurkan industri mie instan. Kedua produsen mi itu sama-sama menurunkan harga sebesar 20-25 persen. Wings melakukan itu untuk merebut pangsa pasar mi instan, sedangkan Indofood untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Padahal, tanpa persaingan harga yang dilakukan oleh Indofood, produsen yang lain sudah tertekan akibat harga bahan baku, termasuk harga pokok gandum yang sudah naik hingga empat kali lipat dibanding sebelum krisis. Harga pokok gandum paralel dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sedangkan kenaikan harga mi instan dalam periode yang sama hanya dua kali lipat. Akhirnya harga yang dikeluarkan Indofood--sebagai pemimpin pasar (market leader) mie instan di Indonesia--menjadi patokan harga untuk produsen mie instan lainnya. Sedangkan produsen yang struktur biayanya belum seefisien indofood pastinya tidak bisa mengikuti tren harga yang turun seperti itu. Akibatnya pengusaha mie instan lain yang tidak kuat akan gulung tikar seperti yang dialami oleh Salam mie.


Daftar Referensi
Buku:
1. Martin, Stephen. Industrial Economics, Economic Analysis and Public Policy. New York: Macmillan Publishing Company, 1998.
Website:

Catatan: Untuk sumber dari indoskripsi saya mohon maaf lupa dari skripsi siapa saya merujuk, seingat saya itu untuk bagian pendahuluan. Jika ada yang merasa ada kemiripan dan merasa tidak dicantumkan namanya saya mohon maaf.


No comments:

Post a Comment