25 April, 2010

Efek Kenaikan Tarif Listrik dan Kelangkaan Gas Bagi Sektor Rumah Tangga, Sektor Industri, dan Sektor Komersial


 Oleh:
Rachmad Satriotomo (2010)
Asisten Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), Jakarta




Rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) pada tahun 2010 ini cukup banyak menimbulkan pro-kontra dikalangan yang berkepentingan, yaitu masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Yang membuat penentangan semakin keras adalah rencana kenaikan ini ternyata dibarengi dengan kelangkaan pasokan gas untuk industri. Kelangkaan gas ini menyebabkan pemerintah berencana menetapkan kuota gas bagi industri dan menetapkan surcharge bagi industri yang menggunakan gas melebihi kuota yang ditetapkan. Tentu saja hal ini menimbulkan kecemasan bahwa ekspektasi inflasi masyarakat akan tinggi sehingga akan menghambat pemulihan ekonomi yang sedang berjalan. Untuk itu penulis mencoba memperkirakan efek dari kebijakan kenaikan tarif listrik ini serta apa rasionalisasi di belakangnya.

Grafik I
Indonesia Share of Final Energy Consumption by Type 2000-2008
(%)

Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia of Indonesia 2009
Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral RI, diolah

Dari Grafik I diatas terlihat bahwa proporsi penggunaan listrik dalam total konsumsi energi mencapai sekitar 12% sedangkan proporsi penggunaan gas mencapai sekitar 13,5%. Kedua jenis energi ini mencukupi kurang lebih 25% dari total konsumsi energi nasional. Maka kenaikan tarif listrik dan gas secara bersamaan tentu merupakan hal yang perlu diwaspadai dampaknya mengingat besarnya peran kedua jenis energi ini dalam perekonomian.

Grafik II
Indonesia Share of Energy Consumption in Industrial Sector 2000-2008
(%)

Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia of Indonesia 2009
Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral RI, diolah

Dari Grafik II diatas terlihat bahwa proporsi penggunaan listrik dari total konsumsi energi di sektor industri saat ini sekitar 9%, sedangkan untuk gas mencapai 27,5%. Jika digabung maka peran keduanya akan mencapai 36,5%. Melihat hal tersebut maka efek dari kenaikan tarif listrik dan kelangkaan gas (yang memicu kenaikan harga gas) bisa berdampak cukup besar pada industri. Ketika biaya produksi meningkat maka ada kecenderungan industri akan menaikkan harga jual hasil produksinya. Namun kenaikannya pun sudah pasti dengan tetap memperhatikan daya beli masyarakat, sehingga sebagian efek kenaikan biaya itu akan ditanggung industri dengan memangkas laba. Selain itu penjualan pun pasti akan tertekan karena naiknya harga barang sehingga laba industri cenderung akan semakin tertekan. Hal ini kemudian akan mempengaruhi ekspansi bisnis (investasi) sektor industri. Lebih jauh, jika dilihat dari sisi daya saing, industri berorientasi ekspor akan tertekan karena harga gas internasional tidak mengalami kenaikan. Begitu juga halnya dengan industri yang pasarnya bersaing dengan barang impor.

Grafik III

Indonesia Share of Energy Consumption in Household 2000-2008
(%)

Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia of Indonesia 2009
Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral RI, diolah

Dari Grafik III diatas, efek yang akan dirasakan langsung oleh sektor rumah tangga adalah kenaikan tarif listrik mengingat konsumsi gas di sektor rumah tangga tidak signifikan. Proporsi konsumsi listrik di sektor rumah tangga mencapai sekitar 36,4% dan terus meningkat setiap tahunnya. Kenaikan tarif listrik yang direncanakan bagi golongan berpendapatan tinggi yang notabene mengkonsumsi listrik terbesar sudah pasti menurunkan daya beli, namun efeknya diprediksi tidak terlalu besar sebab mengubah gaya hidup biasanya tidak mudah dilakukan, apalagi untuk orang kaya yang proporsi pengeluaran untuk listrik dari total pengeluarannya relatif lebih kecil ketimbang orang miskin. Namun efek kenaikan tarif listrik terhadap daya beli mereka pasti tetap ada. Apalagi efek kenaikan harga barang tidak hanya dirasakan oleh kalangan kaya, namun untuk seluruh lapisan masyarakat. Permintaan sektor rumah tangga terhadap barang-barang hasil industri dan komersial diperkirakan akan turun.

Grafik IV
Indonesia Share of Energy Consumption in Commercial Sector 2000-2008
(%)

Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia of Indonesia 2009
Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral RI, diolah

Dari Grafik IV diatas terlihat bahwa proporsi penggunaan listrik dari total konsumsi energi di sektor komersial mencapai 68,5% dan terus meningkat setiap tahunnya. Melihat besarnya angka tersebut maka kenaikan tarif listrik sebesar 15% hampir pasti akan menyebabkan peritel menaikkan harga jual barangnya. Sebelumnya sektor industri diperkirakan juga akan menaikkan harga jual barang, ditambah kenaikan dari sektor komersial, maka kenaikan harga di tingkat konsumen (sektor rumah tangga) akan semakin besar. Dan seperti halnya sektor industri, laba sektor komersial pun kemungkinan tertekan dengan kenaikan tarif listrik ini sehingga berimbas pada menurunnya ekspansi bisnis (investasi) sektor komersial.

Jadi, efek kenaikan listrik pada akhirnya akan diteruskan kepada konsumen akhir, yaitu masyarakat yang mengkonsumsi barang dan jasa, sehingga daya beli mereka turun. Namun sektor industri dan komersial juga terpukul dengan adanya penurunan daya beli masyarakat dan meningkatnya biaya operasional sehingga laba terpangkas. Melihat efek kenaikan tarif listrik yang demikian, maka sudah tepat kiranya langkah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan untuk menunda kenaikan tarif listrik dari awal tahun 2010 menjadi pertengahan tahun 2010 demi memastikan daya beli masyarakat sudah baik dan efek krisis keuangan global sudah berakhir. Dengan daya beli yang baik maka diharapkan efek kenaikan tarif listrik tidak akan terlalu membebani sektor rumah tangga dan penurunan daya beli yang terjadi tidak akan terlalu memukul penjualan sektor industri dan komersial. Selain itu pada pertengahan tahun biasanya proyek-proyek pemerintah mulai berjalan sehingga diharapkan akan turut menjadi pendorong permintaan di tengah-tengah menurunnya permintaan dari sektor rumah tangga, industri, dan komersial.

Grafik V
Indonesia Energy Intensity 2000-2007


Sumber: Key Indicator of Indonesia Energy and Mineral Resources 2008
Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral RI, diolah

Dari Grafik V diatas terlihat bahwa intensitas energi Indonesia semakin menurun dari 0,34 pada tahun 2000 menjadi 0,294 pada tahun 2007. Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia semakin efisien dalam menggunakan energi. Angka 0,294 BOE/Miliion Rp menunjukkan bahwa setiap tambahan konsumsi energi sebesar 0,294 BOE oleh perekonomian maka akan ada tambahan pendapatan (PDB/GDP) sebesar 1 juta rupiah di perekonomian. Sementara untuk intensitas energi yang diukur per kapita angkanya semakin meningkat dari 2,28 pada tahun 2000 menjadi 2,56 pada tahun 2007. Peningkatan angka ini positif karena berarti akses masyarakat terhadap energi semakin besar. Angka 2,56 BOE/Capita menunjukkan bahwa rata-rata setiap orang mengkonsumsi energi 2,56 BOE per tahun. Angka intensitas energi dapat pula dijadikan pendekatan untuk melakukan estimasi terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Jika konsumsi 0,294 BOE menghasilkan 1 juta rupiah, maka jika melakukan konsumsi sebesar 2,56 BOE berarti menghasilkan sekitar Rp 9 juta per tahun. Berarti dari intensitas energi dapat diduga pendapatan per kapita penduduk Indonesia sebesar itu.

Menurunnya angka BOE/Miliion Rp dan meningkatnya angka BOE/Capita merupakan hal yang positif karena menunjukkan penggunaan energi yang makin efisien dan akses terhadap energi yang makin besar. Dari data diatas terlihat bahwa strategi pemerintah dalam pengelolaan energi nasional menunjukkan hasil yang positif walaupun dalam prosesnya penuh penolakan seperti dalam kasus kenaikan harga BBM ketika ada gejolak harga minyak dunia pada tahun-tahun kemarin. Melihat hasil positif tersebut, maka sudah selayaknya kita optimis bahwa rencana kenaikan tarif listrik dan gas saat ini pun tidak terlepas dari upaya pemerintah melakukan pengelolaan energi yang lebih baik. Setidaknya, dari data diatas pemerintah sudah memiliki modal yang berharga sebagai pengambil kebijakan, kredibilitas. Dengan hasil positif diatas kita bisa menaruh kepercayaan bahwa pemerintah sedang melakukan hal yang benar.

2 comments:

  1. baca dulu yah,
    cz rada panjang nih.
    tapi dilihat dari judul pasti bagus

    ReplyDelete
  2. boleh minta sumbernya?

    ReplyDelete