25 April, 2010

Menanam di Timur


Oleh:
Rachmad Satriotomo (2010)
Asisten Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), Jakarta


Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih menyimpan potensi besar yang menunggu sentuhan investasi baik dari Kawasan Barat Indonesia (KBI) maupun dari luar negeri. Namun perlu dicermati apa saja jenis investasi yang potensial dikembangkan di kawasan tersebut. Secara umum jenis investasi dapat dibagi berdasarkan sektor yaitu, sektor primer yang berisi pertanian, pertambangan, peternakan, perikanan dan kehutanan, sektor sekunder yaitu industri manufaktur, dan sektor tersier yaitu industri jasa. Berikut penjelasan potensi investasi di KTI berdasarkan sektor dengan menggunakan pendekatan sumber daya alam, populasi, dan infrastruktur sebagai pengukur feasibilitasnya.

A. Sektor Primer

Pertanian, peternakan, dan perikanan darat memiliki sifat generatif, yaitu harus ada upaya konservasi dan investasi terhadap sumber daya yang digunakan agar tetap menghasilkan. Sedangkan pertambangan, kehutanan, dan perikanan laut bersifat ekstraktif yang murni mengambil dari alam. Investasi yang dilakukan pada SDA ekstraktif semata-mata untuk mengekstrak sumber daya tersebut dari asalnya. Sifat generatif memiliki konsekuensi hasil alam tersebut bisa ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya tergantung dengan investasi yang dilakukan. Sementara sifat ekstraktif memiliki konsekuensi menerima apa adanya dari alam. Upaya yang bisa dilakukan adalah mengatur agar sumber daya alam ekstraktif yang terbatas tersebut dapat memberikan hasil yang maksimal.

KTI memiliki potensi pertanian yang cukup besar mengingat luasnya lahan di kawasan tersebut. Pertanian sendiri dibedakan menjadi dua berdasarkan jenis tanamannya, tanaman pangan dan tanaman perdagangan. Selama ini pertanian tanaman pangan banyak terdapat di Jawa, sementara pertanian tanaman perdagangan banyak terdapat di luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan. Pada awalnya pertanian tanaman pangan banyak terdapat di Jawa karena pasar terbesar hasil tanaman pangan berada di Jawa. Populasi Jawa yang mencapai 60% dari total populasi Indonesia menjadi alasan berkembangnya pertanian tanaman pangan di Jawa karena untuk mendekati pasar hasil pertaniannya. Selain itu sifat pertanian tanaman pangan yang labor intensive juga mendapat dukungan di Jawa yang padat penduduk sehingga upah tenaga kerja relatif murah.

Selain faktor pasar dan tenaga kerja, tanah Jawa yang subur akibat banyaknya gunung berapi juga menjadi salah satu pendukung berkembangnya pertanian tanaman pangan. Pertanian tanaman perdagangan yang tidak mendapat cukup lahan di Jawa akhirnya mengambil wilayah di Sumatra dan Kalimantan yang terdapat lahan luas. Selain itu pertanian tanaman perdagangan memang tidak berkepentingan hadir di tempat yang padat penduduk karena orientasinya adalah perdagangan yang seringkali untuk ekspor. Pada zaman kolonial dulu, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja banyak dipindahkan orang-orang Jawa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan di Sumatra dan Kalimantan.

KTI tidak memiliki populasi yang besar sebagai sumber tenaga kerja dan pasar hasil pertanian, KTI juga tidak termasuk ring of fire sehingga tanahnya relatif kurang subur dibandingkan tanah di Jawa. Melihat hal tersebut maka jika ingin melakukan investasi pertanian di KTI yang cocok adalah pertanian tanaman perdagangan. Namun, belakangan ini harga hasil pertanian tanamanan pangan di pasar internasional semakin baik terutama sejak krisis energi yang menyebabkan munculnya energi alternatif berbasis hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan naiknya harga pangan dunia akibat kompetisi penggunaan lahan pertanian dengan tanaman untuk energi alternatif tersebut. Melihat hal tersebut, tidak tertutup kemungkinan untuk membuka pertanian tanaman pangan di KTI yang berorientasi perdagangan baik domestik maupun ekspor. Begitu juga dengan tanaman perdagangan dan tanaman untuk energi alternatif. Karena sifatnya yang generatif, maka hasil pertanian di KTI dapat terus ditingkatkan tidak hanya terbatas pada lahan pertanian (yang sekarang saja masih luas), melainkan juga teknologi pertanian.

Hal yang sama juga berlaku untuk peternakan dan perikanan darat. Mengingat potensi pasar KTI yang kurang maka produksinya dapat dimaksimalkan untuk orientasi ekspor. Maka dari itu, fokus investasi di KTI adalah komoditas yang memiliki harga baik di pasar internasional. Pada awalnya, peternakan banyak terdapat di daerah-daerah beriklim kering yang jauh dari garis khatulistiwa. Daerah yang kering ini memungkinkan tumbuhnya padang rumput yang luas yang menyediakan pakan bagi ternak. Selain itu iklim kering tidak memungkinkan berbagai penyakit ternak endemik menyebar. Sementara daerah yang berada di garis khatulistiwa mengalami hujan sepanjang tahun sehingga ekosistem yang ada bukan ekosistem padang rumput, melainkan ekosistem hutan hujan yang menghalangi tumbuhnya rerumputan dan rentan terhadap penyebaran penyakit tropis yang menyerang hewan ternak. Yang termasuk daerah kering yaitu Bali, NTT dan NTB dimana biasanya kita menemukan peternakan sapi dan kuda yang hasilnya baik.

Prinsip yang sama juga berlaku bagi sumber daya alam yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan, kehutanan dan perikanan laut. Yang tepat untuk berinvestasi adalah di komoditas yang harganya baik pasar internasional. Mengapa? Lagi-lagi karena pasar KTI tidak cukup besar untuk menyerapnya. Populasi yang kecil dikombinasikan dengan tingkat pendapatan yang rendah maka pasar KTI sulit diharapkan. Dengan kondisi saat ini kita jelas sulit mengharapkan pasar papua untuk menyerap hasil tambang seperti emas misalnya.

B. Sektor Sekunder

Industri manufaktur memiliki tantangan besar untuk berkembang di KTI. Ada beberapa faktor yang menjadi hambatan bagi perkembangan industri di KTI.

Pertama, populasinya kecil. Untuk itu produk industri manufaktur harus berorientasi ekspor karena pasar KTI yang kecil, baik ke daerah lain maupun ke luar negeri. Baik dari jumlah penduduk maupun tingkat pendapatan KTI tidak dapat menyaingi KBI, oleh karena itu industri tidak dapat mengharapkan pasar KTI.

Gambar 1.

Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan KTI dan Non KTI Tahun 2000


Sumber: BPS, diolah

Dari Gambar 1 diatas kita dapat melihat bahwa populasi KTI tidak sampai 10% dari total populasi Indonesia. Padahal bagi industri manufaktur yang memproduksi barang kebutuhan masyarakat jarak dari pabrik ke pasar cukup penting dalam memangkas biaya. Karena pasar terbesar ada di KBI, maka wajar jika sedikit saja industri yang berkembang di KTI. Sesuai teori ekonomi, jika permintaan sedikit maka jumlah penawaran juga akan sedikit sehingga harga barang-barang menjadi mahal. Hal ini terlihat dari inflasi di KTI yang lebih tinggi dari inflasi KBI. Bahkan untuk harga barang-barang yang bersifat administered prices seperti BBM harganya juga menjadi mahal karena mahalnya biaya distribusi dan sedikitnya permintaan. Contoh kasus ekstrem adalah ketika beberapa waktu lalu diberitakan harga satu sak semen mencapai Rp 1 juta di papua. Sementara pada saat yang sama di Jakarta harga satu sak semen hanya Rp 50 ribu. Populasi penduduk yang kecil juga membawa implikasi kecilnya pasar tenaga kerja di KTI sehingga menyulitkan industri mencari tenaga kerja.

Kedua, tenaga kerja terdidik relatif kurang dibandingkan dengan KBI, terutama Jawa. Padahal industri manufaktur memiliki proses produksi yang lebih rumit sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih terampil. Hal ini terlihat dari tabel IPM 2008 di bawah ini.

Tabel 1.

Angka IPM dan Peringkat IPM Antar Provinsi Tahun 2008

Provinsi
IPM 2008
Ranking
31. DKI Jakarta
77,03
1
71. Sulawesi Utara
75,16
2
14. Riau
75,09
3
34. Yogyakarta
74,88
4
64. Kalimantan Timur
74,52
5
20. Kepulauan Riau
74,18
6
62. Kalimantan Tengah
73,88
7
12. Sumatera Utara
73,29
8
13. Sumatera Barat
72,96
9
19. Bangka Belitung
72,19
10
17. Bengkulu
72,14
11
16. Sumatera Selatan
72,05
12
15. Jambi
71,99
13
33. Jawa Tengah
71,60
14
32. Jawa Barat
71,12
15
51. Bali
70,98
16
11. Nanggroe Aceh Darussalam
70,76
17
35. Jawa Timur
70,38
18
81. Maluku
70,38
19
18. Lampung
70,30
20
73. Sulawesi Selatan
70,22
21
72. Sulawesi Tengah
70,09
22
36. Banten
69,70
23
75. Gorontalo
69,29
24
74. Sulawesi Tenggara
69,00
25
63. Kalimantan Selatan
68,72
26
76. Sulawesi Barat
68,55
27
82. Maluku Utara
68,18
28
61. Kalimantan Barat
68,17
29
91. Irian Jaya Barat
67,95
30
53. Nusa Tenggara Timur
66,15
31
52. Nusa Tenggara Barat
64,12
32
94. Papua
64,00
33
Rata-Rata Nasional                 71,17

Sumber: BPS  

Dari Tabel 1 tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2008 diatas terlihat bahwa seluruh daerah provinsi yang berada di KTI IPM-nya berada dibawah rata-rata nasional. Lebih jauh lagi, dari 10 provinsi di rangking terbawah, 7 diantaranya dari KTI. Melihat hal itu maka wajar jika industri kesulitan mencari tenaga kerja berkualitas di KTI. Kualitas SDM yang rendah ini pula menyebabkan rendahnya produktivitas sehingga rendah pula pendapatan masyarakat KTI. Jadi, seperti sudah disebutkan sebelumnya, selain ketiadaan pasar tenaga kerja berkualitas, pasar hasil industri pun kecil. Maka dilihat dari sudut ini sulit mendorong industri mengembangkan usahanya ke KTI.

Ketiga, tidak memadainya infrastruktur energi di KTI. Karena kurangnya insentif untuk membangun KTI maka kualitas infrastruktur energi di KTI pun tertinggal jauh dari KBI sehingga tidak menarik bagi industri untuk ekspansi ke KTI. Hal ini bisa dilihat dari rasio elektrifikasi nasional yang sangat timpang antara KBI dan KTI.

 Gambar 2.

Rasio Elektrifikasi Nasional 2009


Sumber: Kementerian ESDM RI

Dari Gambar 2 diatas terlihat bahwa provinsi di KTI yang memiliki tingkat elektrifikasi diatas 60% hanya Sulawesi Utara. Sementara Papua dan Irian Jaya Barat di bawah 40%. Urgensi listrik bagi industri modern tentu tidak terelakkan dan sudah menjadi kebutuhan wajib. Dewasa ini tidak ada industri yang bisa bertahan tanpa menggunakan listrik. Bahkan pabrik semen Bosowa sampai membangun pembangkit listrik sendiri untuk produksi semennya karena pasokan listrik dari PLN tidak bisa diandalkan.

Selain infrastruktur listrik, infrastruktur gas di KTI juga tidak memadai bagi pertumbuhan industri. Hal itu dapat dilihat dari gambar berikut ini.

Gambar 3.

Infrastruktur Gas Indonesia 2008


Sumber: Kementerian ESDM RI

Dari Gambar 3 diatas terlihat bahwa infrastruktur gas di KTI sangat tertinggal dibandingkan dengan KBI. Gas juga memegang peranan penting dalam industri, ketiadaan gas menyebabkan makin sedikitnya jenis industri yang dapat dibangun karena ada beberapa jenis industri yang mengkonsumsi banyak gas seperti petrokimia, keramik dll.

Untuk melihat urgensi ketersediaan listrik dan gas bagi industri dapat melihat gambar berikut ini.

Gambar 4.

Proporsi Konsumsi Energi di Sektor Industri 2008


Sumber: Kementerian ESDM RI, diolah

Dari Gambar 4 diatas kita dapat melihat bahwa peranan listrik dalam memasok energi bagi industri mencapai 8,91% sementara gas mencapai 27,52% dari total kebutuhan energi industri. Berarti total listrik dan gas berkontribusi sekitar 36,5% dari total kebutuhan energi industri nasional. Jumlah ini sangat signifikan dan menentukan keputusan industri dalam berbisnis. Ketika di KTI tidak terdapat infrastruktur listrik dan gas yang memadai bagi industri maka sangat sulit mengharapkan industri secara umum untuk berkembang disana.

Keempat, tidak memadainya infrastruktur jalan dan pelabuhan di KTI.

Gambar 5.

Panjang Jalan Indonesia dibagi Berdasarkan KTI dan Non KTI 2006 (Km)


Sumber: BPS, diolah

Dari Gambar 5 diatas terlihat bahwa panjang jalan di daerah KTI hanya 69.091 Km (21,724%) sementara daerah Non KTI mencapai 248.950 Km (78,276%). Dilihat dari perbandingan itu dapat disimpulkan bahwa panjang jalan di KTI masih tertinggal jauh dengan KBI dan tidak memadai bagi perkembangan industri dan perekonomian.

Lebih spesifik lagi kita akan melihat bagaimana kualitas jalan di KTI tersebut yang dibagi berdasarkan pulau/kepualaun yaitu Sulawesi, Maluku dan Papua.

Gambar 6.

Karakteristik Jalan di Sulawesi 2006 (Km)


Sumber: BPS, diolah

Dari Gambar 6 diatas dapat dilihat bahwa jalan di Sulawesi yang rusak mencapai 13.449 Km (27,03%) dan rusak berat mencapai 8.288 Km (16,7%). Total jalan rusak dan rusak berat di Sulawesi mencapai 43,73% dari seluruh panjang jalan.

 Gambar 7.

Karakteristik Jalan di Maluku 2006 (Km)


Sumber: BPS, diolah

Dari Gambar 7 diatas dapat dilihat bahwa jalan di Maluku yang rusak mencapai 2.956 Km (42,82%) dan rusak berat mencapai 2.181 Km (31,6%). Total jalan rusak dan rusak berat di Maluku mencapai 74,42% dari seluruh panjang jalan.

Gambar 8.

Karakteristik Jalan di Papua 2006 (Km)


Sumber: BPS, diolah

Dari Gambar 8 diatas dapat dilihat bahwa jalan di Papua yang rusak mencapai 3.735 Km (30,03%) dan rusak berat mencapai 5.066 Km (40,73%). Total jalan rusak dan rusak berat di Papua mencapai 70,76% dari seluruh panjang jalan.

Buruknya kualitas jalan ini tentunya menimbulkan biaya tinggi bagi masyarakatnya, termasuk industri manufaktur yang memerlukan transportasi untuk mengangkut barang hasil produksinya. Hal ini juga ikut menentukan minat industri manufaktur dalam berinvestasi. Melihat berbagai uraian diatas maka sulit mengharapkan industri manufaktur dapat berkembang di KTI tanpa intervensi yang kuat dari pemerintah. Baru-baru ini muncul wacana mengalihkan pelabuhan barang-barang impor dari China ke pelabuhan-pelabuhan KTI agar barang-barang murah tersebut dapat menekan inflasi KTI yang tinggi. Selain itu aktivitas bongkar-muat di pelabuhan diharapkan dapat menimbulkan efek lanjutan bagi perekonomian di sekitarnya agar lebih berkembang. Namun tantangannya kemungkinan datang dari importir yang kebanyakan dari KBI yang pastinya enggan labanya tergerus akibat meningkatnya biaya transportasi.

C. Sektor Tersier

Industri jasa disebut sebagai sektor tersier karena industri ini lebih rumit lagi ketimbang industri manufaktur, ia meminta lebih banyak prasyarat. Ia membutuhkan pasar yang cukup besar dengan tingkat pendapatan masyarakat yang cukup tinggi serta tingkat pendidikan yang memadai. Hal ini dapat dimengerti mengingat industri jasa menyediakan layanan tersier yang kebutuhan akan itu hanya muncul dari masyarakat berpendapatan tinggi dan tingkat pendidikan yang memadai.

Misalnya perusahaan jasa keuangan, ia membutuhkan orang kaya yang memiliki dana untuk dikelola secara profesional. Namun tidak cukup sekedar kaya, perusahaan jasa keuangan membutuhkan adanya orang kaya dan berpendidikan yang memiliki kesadaran untuk mengelola dananya secara maksimal dengan perencanaan yang baik. Dan tentunya perusahaan jasa keuangan ini butuh banyak pelanggan seperti ini bukan hanya satu atau dua orang. Ia membutuhkan masyarakat yang berkarakteristik seperti itu, kaya dan berpendidikan. Suatu masyarakat yang hanya bisa dicapai setelah melewati tahapan pembangunan pertanian dan pembangunan industri manufaktur. Post industrialized society, masyarakat yang khas negara maju. Jadi, sangat sulit kiranya berharap investasi sektor jasa ini masuk ke KTI, kecuali dikembangkan industri pariwisata di sana sehingga akan tumbuh berbagai perusahaan jasa seperti hotel, restoran dll. Namun sebelumnya infrastruktur yang mendukung harus diperbaiki terlebih dahulu.

Kesimpulannya adalah investasi di sektor primer lebih mudah ditarik masuk ke KTI daripada investasi di sektor sekunder dan tersier mengingat faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu, inovasi yang memanfaatkan ACFTA dengan memprioritaskan pelabuhan di timur juga layak dipelajari lebih lanjut efeknya bagi perekonomian. Jadi, judul artikel diatas bukannya tanpa makna, mari kita menanam di Timur.

2 comments:

  1. bung Rachmat, saya sangat mengapresiasi research yang anda lakukan mengenai ekonomi makro indonesia timur, saya sangat berharap anda juga dapat menjadi entrepreneur bidang pertanian di KTI.

    ReplyDelete