29 March, 2012

Kisruh Harga BBM

Kisruh mengenai harga bahan bakar minyak (BBM) seolah tidak pernah berakhir di negara ini, setiap rezim pemerintahan selalu menghadapi dilema harga BBM. Penolakan pasti ada, namun penentangannya tidak pernah sebesar saat ini.
Sejak rezim Orde Lama harga BBM sudah ditentukan (administered) dan distabilkan di harga tertentu (stabilized) oleh pemerintah. Kebijakan harga BBM yang administered dan stabilized tersebut diwariskan kepada pemerintahan berikutnya hingga saat ini. Namun harga BBM yang administered dan stabilized bukan berarti harga tersebut selalu disubsidi (subsidized). Pada tahun 1971, awal rezim Orde Baru, negara justru mendapatkan keuntungan dari penjualan BBM di dalam negeri. Dengan kata lain harga jual BBM di dalam negeri justru diatas harga keekonomian BBM. Maka wajar saat itu tidak ada larangan menjual BBM ke luar negeri karena tidak ada insentif untuk itu. Di tahun-tahun berikutnya harga minyak mentah meningkat cukup signifikan, demi mempertimbangkan daya beli masyarakat pemerintah melakukan subsidi terhadap harga BBM.
Di awal masa pembangunan Orde Baru perekonomian Indonesia belum terlalu berkembang, konsumsi minyak masih sedikit. Akibatnya surplus minyak melimpah, apalagi didukung oleh tingginya harga minyak pada periode oil boom I dan oil boom II, maka uang minyak menjadi modal utama pembangunan. Pada tahun 1980 surplus minyak masih diatas 1 juta barel per hari. Belakangan, perekonomian semakin berkembang dan konsumsi minyak meningkat, sementara produksi minyak terus turun akibat sumur yang semakin tua. Akibatnya surplus minyak Indonesia semakin menipis, pada tahun 2000 surplus minyak sudah dibawah 500 ribu barel per hari. Pada tahun 2004 Indonesia mengalami defisit minyak dan menjadi negara net importer minyak. Sebagai konsekuensinya maka pada tahun 2008 Indonesia secara resmi keluar dari OPEC. Kita bukan lagi negara kaya minyak.


Produksi, Konsumsi dan Surplus Minyak Mentah Indonesia Tahun 1980-2008 (dalam ribu barel per hari)
Sumber: US Energy Information Administration

Selain tingkat produksi dan konsumsi, efek minyak terhadap fiskal juga berbeda antara tahun 1970-2000 dan sesudah tahun 2000. Pada tahun 1970-2000 penerimaan minyak dan gas yang melimpah seluruhnya masuk ke pemerintah pusat, sementara itu beban pemerintah pusat yang terkait minyak hanya subsidi BBM yang konsumsinya masih relatif sedikit. Setelah tahun 2000 penerimaan minyak dan gas yang sudah menyusut akibat turunnya produksi secara cepat harus dibagi kepada pemerintah daerah lewat mekanisme Dana Bagi Hasil Migas sebagai konsekuensi otonomi daerah, sementara beban subsidi BBM yang konsumsinya semakin meningkat ditanggung sendirian oleh pemerintah pusat. Belum lagi ketentuan dana pendidikan 20 persen mengharuskan pemerintah menaikkan dana pendidikan ketika APBN meningkat akibat naiknya harga minyak mentah. Maka saat ini kenaikan harga minyak mentah justru akan menambah defisit APBN. Saat harga minyak mentah naik, ada kenaikan penerimaan negara, tetapi kenaikan belanja lebih besar lagi. Dari tabel dibawah ini dapat dilihat bahwa harga BBM dinaikkan ketika Neraca Pemerintah Pusat di posisi tertekan (lihat persentase PDB-nya), yaitu tahun 2005 dan tahun 2008.

Pengaruh Sektor Migas Terhadap Fiskal Indonesia Tahun 2001-2008
(dalam Triliun Rupiah)


2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1. Pendapatan Migas
104,1
77,5
80,5
110,8
138,9
201,3
168,8
288,6
 persentase PDB
7,20
4,80
4,50
5,60
5,01
6,02
4,27
5,82
          a. PPh Migas
23,1
17,5
19
23,1
35,1
43,2
44
77
           persentase PDB
1,60 %
1,10 %
1,10 %
1,20 %
1,27 %
1,29 %
1,11 %
1,55 %
          b. PNBP Migas
81
60
61,5
87,7
103,8
158,1
124,8
211,6
           persentase PDB
5,60 %
3,70 %
3,40 %
4,40 %
3,74 %
4,73 %
3,16 %
4,27 %
2. Subsidi Energi
68,4
31,2
30
59,2
104,4
94,6
116,9
223
 persentase PDB
4,70 %
1,90 %
1,70 %
3,0 %
3,76 %
2,83 %
2,96 %
4,50 %
          a. Subsidi BBM
68,4
31,2
30
59,2
95,6
64,21
83,79
139,11
           persentase PDB
4,70 %
1,90 %
1,70 %
3,0 %
3,44 %
1,92 %
2,12 %
2,81 %
          b. Subsidi Listrik
-
-
-
-
8,8
30,39
33,11
83,89
           persentase PDB
-
-
-
-
0,32 %
0,91 %
0,84 %
1,69 %
Neraca Nasional (1-2)
35,7
46,3
50,5
51,6
34,5
106,7
51,9
65,6
 persentase PDB
2,50 %
2,90 %
2,80 %
2,60 %
1,25 %
3,19 %
1,31 %
1,32 %
3. DBH Migas
9,6
11,7
13,2
17,4
22,6
31,6
21,9
33,1
 persentase PDB
0,60 %
0,70 %
0,70 %
0,90 %
0,81 %
0,94 %
0,55 %
0,66 %
Neraca Pemerintah Pusat (1-2-3)
26,1
34,6
37,3
34,2
11,9
75,1
30
32,5
 persentase PDB
1,90 %
2,20 %
2,10 %
1,70 %
0,44 %
2,25 %
0,76 %
0,66 %
Memo Item
Produksi Minyak (000 Barel/Hari)
1.340
1.249
1.155
1.095
1.066
1.019
964
972
Konsumsi Minyak (000 Barel/Hari)
1.077
1.125
1.142
1.232
1.279
1.256
1.243
1.256
ICP (US$/Barel)
24,11
25,6
29,52
36,85
54,01
65,23
73,56
100,65
Harga Bensin Premium (Rp/L)
1.312,5
1.667
1.810
1.810
2.826,6
4.500
4.500
5.358,3
Nilai Tukar (Rp/US$)
10.241
9.311
8.577
8.900
9.705
9.164
9.140
9.691

Sumber: Nota Keuangan RI, PT Pertamina (Persero), US Energy Information Administration, telah diolah kembali

Harga Keekonomian BBM
Salah satu isu yang menjadi perdebatan di ranah publik adalah mengenai harga keekonomian BBM. Harga keekonomian ini menjadi penting karena terkait dengan besaran subsidi BBM yang harus ditanggung pemerintah. PDI Perjuangan sebagai pihak oposisi dan Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah menyampaikan hitungannya soal harga keekonomian BBM ini, menurut mereka dengan menggunakan teknik penghitungan yang sama hasil hitungan pemerintah terlalu besar, ada mark up. Benarkah demikian?
Sebagai contoh kita ambil harga satu jenis BBM yang disubsidi, yaitu bensin premium. Patokan menghitung harga keekonomian BBM adalah dengan formula yang sudah baku, yaitu Harga Keekonomian BBM = MOPS + Alpha + PPN + PBBKB. Dimana MOPS (Mean of Platts Singapore) adalah harga rata-rata BBM di pasar Singapura, alpha adalah marjin dan biaya distribusi Pertamina, PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 %, PBBKB adalah Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 5 %.
Dengan formula diatas maka harga keekonomian bensin premium saat ini (ICP 120 USD/barel, nilai tukar Rp 9.000/USD, alpha Rp 613/liter) adalah Rp 9.212/liter. Angka ini didapat dengan asumsi harga bensin premium di Singapura (MOPS) lebih tinggi 10 USD/barel dibanding harga minyak mentah (ICP). Selisih 10 USD/barel ini umum dipakai dan menunjukkan biaya produksi dari minyak mentah menjadi produk jadi. Sementara 1 barel setara dengan 158,9 liter. Kalau kita turunkan satu per satu maka harga keekonomian bensin premium per liter adalah MOPS (Rp 7.363) + Alpha (Rp 613) + PPN (Rp 797,6) + PBBKB (Rp 438,7), yaitu Rp 9.212. Sementara kalau kita lihat harga bensin Pertamax yang notabene tidak disubsidi pemerintah per Maret 2012 ini adalah Rp 9.300/liter. Hanya selisih sedikit dari perhitungan kasar diatas.
Kalau kita gunakan asumsi APBN Perubahan 2012 maka ICP menjadi sebesar 105 USD/barel dan alpha menjadi sebesar Rp 663/liter. Dengan cara penghintungan yang sama kita mendapatkan harga keekonomian bensin premium adalah Rp 8.289/liter. Sekali lagi, hasil perhitungan kasar ini tidak berbeda jauh dengan versi pemerintah yang sebesar Rp 8.022/liter. Artinya klaim PDI Perjuangan dan ICW tentang adanya mark up besar-besaran dalam penentuan harga keekonomian BBM ini tidak terbukti.
Ketiadaan Perencanaan
Pangkal utama kisruh harga BBM saat ini adalah ketiadaan perencanaan energi yang jelas dari pemerintah. Rezim Presiden SBY sudah beberapa kali merasakan gejolak harga minyak, tahun 2005 harga BBM dinaikkan dua kali, tahun 2008 kembali dinaikkan, namun tidak ada realokasi anggaran yang konsisten untuk mendukung konversi energi dengan bahan bakar yang lebih murah. Pemerintah membiarkan perekonomian tergantung kepada minyak, padahal bahan bakar tersebut harus diimpor dan harganya tinggi. Saat ada ruang fiskal untuk membiayai program konversi energi pemerintah malah memilih menurunkan harga BBM menjelang Pemilihan Umum.
Sebenarnya kisruh harga BBM ini tidak perlu terjadi jika pemerintah menaikkan harga BBM tahun lalu. Di APBN 2011 pemerintah sudah mendapat izin DPR untuk melakukan penyesuaian harga BBM jika harga minyak mentah meningkat diatas 10 % dari asumsi. Namun tidak dilakukan. Di APBN 2012 pemerintah hanya diizinkan melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, akibatnya untuk menaikkan harga BBM harus melalui mekanisme APBN Perubahan 2012 yang memakan waktu dan berpotensi untuk terjadi politisasi. Tahun 2009 Presiden SBY dan Partai Demokrat mencontohkan bagaimana melakukan politisasi harga BBM, jadi sekarang pemerintah seharusnya tidak perlu merasa heran jika parlemen mempolitisasi harga BBM.

No comments:

Post a Comment