06 May, 2010

Adakah Kartel di Industri Semen?


Oleh:
Rachmad Satriotomo (2010)
Asisten Peneliti Institute for Sustainable Reform (INSURE), Jakarta


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menyelidiki dugaan adanya kartel (kerjasama industri) di industri semen Indonesia. Hal ini menyusul aduan DPP Real Estate Indonesia (REI) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia terhadap perusahaan produsen semen yang resah atas tingginya harga semen di Indonesia. Kedelapan perusahaan yang menjadi terlapor dalam kasus tersebut yaitu PT Semen Andalas Indonesia, PT Semen Padang, PT Semen Baturaja, PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT Holcim Indonesia Tbk, PT Semen Gresik (Persero) Tbk, PT Semen Tonasa dan Semen Gresik, dan PT Semen Bosowa Maros. Kedelapan perusahaan itu diduga melanggar Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Industri semen tentu saja menolak tudingan ini dan mengatakan bahwa tingginya harga semen merupakan mekanisme pasar karena tingginya biaya produksi. Membuktikan adanya kartel sangat sulit, karena para pemain tidak harus bertemu untuk membuat perjanjian, sementara menurut UU harus ada bukti hitam diatas putih untuk membuktikan kartel. Untuk itu KPPU melakukan mencoba membuktikannya dengan indirect evidence melalui analisis data. Disini penulis mencoba menguraikan beberapa data yang dapat membantu untuk memahami persoalan kartel industri semen.

Gambar 1. Pangsa Pasar Industri Semen Nasional Tahun 2008
Sumber: KPPU, pemberitaan oleh Investor Daily, 2009 < http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=609&encodurl=03%2F27%2F09%2C11%3A03%3A18>, telah diolah kembali

Dilihat dari struktur pasar semen di Gambar 1, ada 3 pemain yang menguasai pangsa pasar semen terbesar, yaitu Semen Gresik Group, Indocement, dan Holcim Indonesia. Cukup 3 perusahaan besar ini untuk melakukan kartel dan membentuk harga semen, karena pemain kecil pasti akan mengikuti. Menurut teori SCP (Structure-Conduct-Performance), struktur pasar monopoli (structure) akan mendorong pelaku usaha berperilaku monopoli (conduct) sehingga menghasilkan kinerja monopoli (performance) yang tidak efisien. Secara teori, penguasaan 90% pasar oleh 4 pemain terbesar sudah dapat dikatakan sebagai pasar oligopoli. Sedangkan struktur pasar oligopoli membuat pemainnya rentan untuk mengejar monopoly’s rent dengan membentuk kartel sehingga pasar sejatinya berubah menjadi berbentuk monopoli.

Gambar 2. Persentase Kenaikan Indeks Harga Perdagangan Besar Konstruksi Tahun 2003-2008
 Sumber: BPS < http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=20&notab=4>, telah diolah kembali

Dari pergerakan persentase kenaikan IHPB Konstruksi di Gambar 2 yang berkorelasi kuat dengan harga semen dapat dilihat bahwa dalam rentang tahun 2005-2008 kenaikan harga sangat tinggi sekitar 20% per tahun. Kenaikan harga ini jauh diatas rata-rata inflasi Indonesia yang sebesar 6% per tahun. Kenaikan harga yang tidak wajar ini akhirnya berujung pada pengaduan dari REI dan Kadin bahwa industri semen melakukan praktik kartel. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, industri semen menolak tudingan itu dan menyatakan bahwa kenaikan ini adalah karena mekanisme pasar. Untuk mengetahui hal itu kita harus memiliki informasi tentang struktur biaya industri semen yang tentunya hanya dimiliki oleh industri semen. Untuk itu KPPU melakukan pendekatan lain yaitu dengan mengamati kapasitas terpasang industri semen serta permintaan dan penawaran semen selama beberapa tahun.

Tabel 1. Kapasitas Produksi, Penjualan, Konsumsi, Idle Capacity, dan Over Demand Industri Semen Tahun 2006-2008 (Ton)
2006
2007
2008
Kapasitas Produksi
56.862.000
56.862.000
56.862.000
Penjualan
31.246.262
33.505.899
35.404.386
Konsumsi
32.056.270
34.174.698
38.807.741
Idle Capacity
25.615.738
23.356.101
21.457.614
Over Demand
810.008
668.799
3.403.355
Sumber: KPPU, pemberitaan oleh Solopos, 2010 < http://www.solopos.com/2010/ekonomi-bisnis/kppu-8-perusahaan-semen-diduga-lakukan-kartel-11914>, telah diolah kembali

Gambar 3. Dekomposisi Kapasitas Terpasang Industri Semen Nasional Tahun 2006-2008 (%)
Sumber: KPPU, pemberitaan oleh Solopos, 2010 < http://www.solopos.com/2010/ekonomi-bisnis/kppu-8-perusahaan-semen-diduga-lakukan-kartel-11914>, telah diolah kembali
 
Dari Tabel 1 dan Gambar 3 kita dapat melihat bahwa kapasitas terpasang industri semen dalam rentang tahun 2006-2008 tetap yaitu 56.862.000 ton. Namun dari jumlah itu kapasitas yang tidak terpakai (idle capacity) mencapai sekitar 40%. Sementara itu dalam rentang tahun 2006-2008 penjualan semen domestik meningkat dari 31.246.262 ton (54,9%) menjadi 35.404.386 ton (62,26%). Berbarengan dengan itu kapasitas yang tidak terpakai (idle capacity) menurun dari 25.615.738 ton (45,04%) menjadi 21.457.614 ton (38%) demi memenuhi penjualan. Namun kenaikan penjualan ini lebih rendah dibanding dengan kenaikan konsumsi semen domestik yang meningkat dari 32.056.270 ton (56,37%) menjadi 38.807.741 ton (68,25%). Akibatnya adalah melonjaknya kelebihan permintaan (over demand) dari 810.008 ton (1,42%) menjadi 3.403.355 ton (5,99%). Padahal kapasitas yang tidak terpakai (idle capacity) masih besar untuk memenuhi permintaan.

Karena itulah maka patut didukung upaya KPPU menyelidiki dugaan kartel di industri semen ini karena kerugian yang diderita konsumen cukup besar. Menurut penghitungan KPPU, jika kerugian konsumen dari satu zak semen (50 kg) mencapai Rp 15.000, sementara konsumsi semen rata-rata per tahun 35.000.000 ton, maka surplus konsumen yang berpindah ke perusahaan semen mencapai Rp 10,5 triliun per tahun. Ditambah lagi, kenaikan harga semen diduga melemahkan efek stimulus fiskal yang dijalankan pemerintah. Jika industri semen yang notabene dikuasai oleh perusahaan BUMN terbukti melakukan praktik kartel hal itu akan ironis sekali, sekaligus menunjukkan ketidakkompakan unsur di dalam pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan.

3 comments:

  1. Menurut gw ini cuma masalah struktur pasar yang kebetulan kekuatanya masih terpusat pada beberapa pemain besar. Ditambah lagi dengan karakteristik industri semen yang memiliki entry-barriers yang sangat besar, seperti pemilihan lokasi pabrik dan juga loyalitas konsumen.

    Kenaikan harga yang sangat jauh diatas inflasi seperti yang disebutkan diatas belum tentu diakibatkan oleh kesepakatan bisnis diantara para pemain besar atau biasa yang disebut dengan kartel. Banyak hal lain seperti struktur biaya dan high cost economy yang mana sudah sangat melekat didalam dunia industri Indonesia.

    Sementara itu, seberapa besarpun kenaikan harga, konsumen tetap mempunyai pilihan merek semen lainya walaupun terbatas dan lower quality level.

    ReplyDelete
  2. struktur monopoli memang bukan masalah, yang masalah adalah perilaku monopoli. itu dugaannya.

    kenaikan harga itu juga belum bisa membuktikan apa-apa, makanya disebut diatas kita harus tau dulu struktur biayanya. tapi kalo soal high cost economy seharusnya industri lain juga merasakan hal yang sama. masalahnya industri rata2 cuma 6% (inflasinya), tapi untuk bangunan bisa 20%. tapi bisa jadi karena banyak faktor. dan bangunan bukan cuma semen, tapi kemungkinan semen berpengaruh banyak (pas bikin ga dapet data harga semen soalnya di BPS, hehe)

    bagaimana dengan over demand yang terus meningkat setiap tahun? titik berat kenapa harus diadakan penyelidikan lebih lanjut ada disitu. sementara idle capacity masih sangat besar, tapi over demand justru semakin meningkat, as well as the price.

    anyway, pretty good point of view of yours.

    ReplyDelete
  3. menurut beberapa hasil analis bisnis, komponen biaya yang paling tinggi untuk industri semen adalah biaya energi (38 - 43 %) dan biaya distribusi (12 - 15 %). Sementara isu ilde capacity itu tidak benar karena saat ini utilisasi pabrik hamir 95%. So........ disebelah mana isu karteknya itu???

    ReplyDelete