“….Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berpikir”. (QS 45:13)
Cara
berpikir konservatif dalam sebagian masyarakat muslim merupakan tantangan besar
bagi kemajuan Islam. Selama cara berpikir demikian masih bertahan, Islam tidak
mungkin menjadi sumber kemajuan bagi pemeluknya, sebaliknya justru menjadi
penghambat. Ada dua hal yang menjadi ciri utama muslim konservatif. Pertama,
menganggap konstruksi ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat di zaman Nabi
Muhammad sebagai bentuk ideal dan puncak peradaban yang harus dihidupkan
kembali. Kedua, menerjemahkan Al Qur’an dan Hadits secara tekstual dengan
mengabaikan konteks peristiwa. Cara berpikir konservatif ini sangat merugikan
umat Islam dan menghambat kemajuannya, sayangnya dewasa ini hal tersebut justru
menguat di Indonesia.
Arab Abad ke 7 Masehi Bukanlah
Puncak Peradaban
Kesalahan berpikir terbesar muslim konservatif adalah menganggap bahwa masyarakat Arab pada
abad ke 7 Masehi sebagai masyarakat ideal, sehingga seluruh konstruksi ekonomi,
sosial, politik dan budayanya harus dihidupkan kembali secara apa adanya, hal
ini dilakukan demi apa yang mereka yakini sebagai berislam secara menyeluruh (kaffah). Maka dari itu mereka
menerjemahkan Al Qur’an dan Hadits secara tekstual, juga mengartikan sunnah
Nabi Muhammad sebagaimana adanya tanpa memperhatikan konteks peristiwa. Mereka
selalu bertanya “dulu rasul gimana?”
tanpa pernah bertanya “kalau rasul hidup di jaman sekarang beliau akan gimana?”.
Dalam
setiap bidang kehidupan muslim konservatif ingin kembali ke sistem yang
digunakan oleh bangsa Arab pada abad ke 7 Masehi. Dalam bidang ekonomi mereka
ingin menggunakan mata uang dinar dan dirham hanya semata-mata karena uang
tersebut yang digunakan oleh Nabi Muhammad. Dalam bidang politik mereka ingin
menggunakan sistem khilafah hanya semata-mata karena nabi dan sahabatnya
menggunakan sistem tersebut. Walau sebetulnya tidak jelas juga sistem khilafah
seperti apa yang mereka maksud, karena aklamasi yang dilakukan para sahabat
nabi dalam memilih pemimpin pasca nabi sebetulnya merupakan bentuk demokrasi
juga. Intinya, dalam setiap aspek kehidupan mereka ingin kembali pada masa 1400
tahun silam di jazirah Arab.
Tepatkah
cara berpikir demikian? Tentu tidak, hal itu justru melanggar prinsip Islam yang sangat
mendasar. Dalam Islam, ibadah diatur secara ketat, seluruh ibadah adalah haram
kecuali yang diperintahkan. Sebaliknya, dalam urusan muamalah sangat liberal,
seluruh muamalah adalah boleh kecuali yang dilarang. Artinya dalam ibadah
memang harus mencontoh nabi, tapi dalam muamalah tidak. Kalangan konservatif
tidak memakai prinsip ini, baginya dalam semua hal harus mencontoh nabi, jika
tidak ada contohnya maka tidak boleh dilakukan. Hal ini jelas tidak praktikal, mereka
yang konsisten dengan cara pikir konservatif ini akhirnya menolak banyak aspek
dari kehidupan modern seperti sistem ekonomi, politik dan pemerintahan, bahkan kedokteran
modern. Gerakan anti demokrasi dan gerakan anti vaksinasi yang sekarang merebak
di Indonesia adalah contohnya.
Islam
telah menjadi sumber kemajuan bagi pemeluknya pada masa lalu karena
nilai-nilainya yang progresif dan melampaui zamannya. Saat peradaban-peradaban
besar dunia bergantung pada budak untuk membangun kota-kotanya, Islam justru
menganjurkan membebaskan budak. Dalam beberapa hal, kafarat (penebusan) atas sebuah pelanggaran syariat adalah dengan membebaskan
seorang budak. Jadi, Islam pada abad ke 7 Masehi sudah memiliki visi anti
perbudakan dimana pada saat yang sama perbudakan masih merupakan hal yang
dianggap sangat lumrah. Namun kalangan konservatif akan berbeda melihatnya, mereka
melihat bahwa ada dalil-dalil agama yang mengatur tentang perbudakan sehingga menganggap
hukum perbudakan dalam Islam adalah boleh. Ini adalah contoh cara berpikir yang mengabaikan
konteks, ia gagal menangkap esensi dari ajaran Islam.
Pentingnya Tafsir Agama Secara Kontekstual
Islam
yang datang sebagai pembebas dari penyembahan sesama manusia justru telah
menjadi berhala baru bagi kalangan konservatif. Agama menjadi begitu sakral hingga
mengorbankan apapun bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kasus yang ekstrem, jika
seorang konservatif dihadapkan pada pilihan untuk membunuh atas nama agama
pasti akan dilakukannya, walaupun itu bukan perintah agama, melainkan
kedangkalannya sendiri dalam menafsirkan agama.
Islam terdiri dari aqidah, akhlaq dan syariat. Untuk aqidah dan akhlaq
dalil agama berlaku sepanjang zaman, tapi untuk syariat tidak. Hukum syariat
selalu bergeser sesuai situasi dan kondisi (kontekstual). Misal, hukum asal
puasa Ramadhan adalah wajib, tapi bisa jadi makruh atau malah haram bila kita
sedang sakit lalu memaksakan diri dan membahayakan jiwa. Nah, jadi bisa
dibayangkan, jika untuk ibadah utama yang masuk rukun Islam seperti puasa
Ramadhan saja hukum syariatnya bisa berubah apalagi untuk ibadah lain yang
tidak setinggi itu posisinya. Terlebih lagi untuk urusan non ibadah atau muamalah
yang pada dasarnya liberal (semua boleh kecuali ada larangan).
Umar bin Khatab sebagai khalifah pernah tidak membagikan harta rampasan
perang sesuai ketentuan Al Qur'an. Harta yang seharusnya dibagikan malah
dimasukkan ke kas negara. Kenapa? Karena menurut Umar situasi dan kondisinya
sudah berbeda dengan zaman nabi. Di zaman Umar prajurit mendapat gaji, jadi
tidak diberikan bagian rampasan perang lagi. Pernah juga Umar ingin mengatur batasan
soal mahar, tapi diprotes oleh seorang wanita sehingga dibatalkan. Tapi
semangatnya jelas, Umar tidak terikat pada dalil secara tekstual, ia melihat
konteks.
Al Qur'an dan Hadits tidak berada
di ruang hampa, mereka seringkali turun untuk mengomentari peristiwa yang sedang
terjadi. Artinya dalam membaca dalil tidak bisa dilepaskan dari sejarah
turunnya dalil tersebut. Jadi sangat penting untuk memahami kondisi ekonomi,
sosial, politik dan budaya masyarakat Arab waktu itu. Dalam membaca dalil tidak boleh mengabaikan konteks
saat turunnya dalil tersebut, dan konteks saat dalil tersebut akan digunakan di
masa kini. Karena bisa jadi illat-nya
(alasan sebuah hukum) hilang dengan berubahnya situasi dan kondisi. Apa yang
benar di masa lalu belum tentu benar di masa sekarang, karena ada kondisi yang mungkin
sudah berbeda. Jangankan beda masa, dalam satu masa tapi beda wilayah pun bisa
jadi beda hukumnya. Atau bahkan beda orang bisa jadi beda hukumnya. Karena
kondisi setiap orang tidak sama. Allah yang lebih tahu. Wallahua’lam.
yang terpenting tuh memang critical thinking..khususnya dalam muamalah
ReplyDeleteBetul de, yang penting niatnya benar, bukan mencari-cari celah dalam agama.
Delete